tiga belas.

8.4K 714 33
                                    

Bangun pagi memang sudah menjadi rutinitas bagi pria berusia dua puluh tujuh tahun yang baru saja membangun rumah tangga itu, tapi tidak sampai pagi buta juga.

Jika menghitung, mungkin hanya ada sekitar dua atau tiga jam Juna tertidur, setelah melakukan hal itu, Juna menjadi tidak tenang, berulang kali ia memandangi pria yang malah sudah terlelap nyaman, berbanding terbalik dengan dirinya.

Pikiran Juna terus dipenuhi oleh hal-hal yang membuatnya tidak nyaman, ia takut jika Abian membuka mata nanti, seperti apa respon nya? Juna takut jika suaminya itu membencinya, atau bahkan kemungkinan terburuk pergi meninggalkan nya.

Saat ini, Juna masih setia berbaring di sebelah Abian, di bawah selimut yang sama, ia sanggah kepalanya menggunakan satu tangan, sedangkan tangan yang satunya menaikkan selimut, memperbaiki agar dapat membalut tubuh keduanya dengan hangat, karena dinginnya suhu pada saat itu bisa membuat tubuh menggigil karena dingin, Juna melirik sekilas jam pada dinding, rupanya memang masih menunjukkan pukul empat dini hari.

Dengan posisi yang masih sama, Juna bisa dengan mudah memperhatikan wajah lelap Abian yang kebetulan menghadap ke arahnya, satu tangan Juna bawa ke dalam selimut, mencari tangan Abian lalu menyelipkan jari-jarinya pada telapak si kecil.

Hangat. Terlalu hangat hingga berhasil tembus ke dalam tubuh Juna, sederhana saja, Juna ingin hal kecil seperti ini dapat menjadi rutinitas, Juna ingin Abian tau betapa ia menginginkan senyuman hangat darinya, saling melempar senyum dan kebahagiaan dalam kondisi yang sederhana, seperti sekarang.

Andai bisa waktu diberhentikan, Juna ingin tinggal lebih lama diwaktu ini. Ingin abadi dalam posisi yang membuatnya leluasa menikmati betapa indah paras suaminya, berada di bawah selimut yang sama, setelah semalam berbagi kasih sayang, di tambah tautan tangan yang terjalin dengan hangat.

Berada dalam posisi nyaman ini nyatanya berhasil mengundang kantuk, Juna akhirnya memilih untuk kembali tidur, dengan mendekap suaminya, posisi ternyaman dari banyaknya posisi tidurnya selama ini.

Hingga tanpa sadar matahari pagi telah muncul dengan malu-malu, suasana di luar sana juga sudah mulai cerah dengan udara segar dari tanaman yang tumbuh dengan subur.

Juna kembali menjadi orang pertama yang membuka mata, ia lihat Abian masih senantiasa terlelap nyaman dalam dekapannya, Juna tersenyum, sempat Juna diam beberapa saat sebelum memberikan satu kecupan singkat di dahi suami kecilnya itu.

Tidak lama berdiam dalam posisi itu, Abian melakukan pergerakan, sudah merasa terusik. Dengan berat Abian membuka matanya, memfokuskan pandangan hingga dengan perlahan gambaran wajah Juna terpampang jelas di depannya.

Abian mengerjap, pikirannya kosong, merasa ini sebuah mimpi, karena tidak mungkin ia bisa bangun dalam posisi berada dalam dekapan milik Juna, terlalu mustahil. Tapi senyuman serta ucapan selamat pagi itu membuyarkan segala praduga Abian, tidak mungkin mimpi bisa senyata ini.

Kembali Abian tatap pria di depannya, bersamaan dengan itu tiba-tiba sebuah ingatan menghantam kepala nya, ingatannya semalam, begitu jelas, bahkan sangat jelas sampai terus berteriak nyaring di kepalanya, ingatan akan kelakuan gilanya, dan semua itu sangat jelas, semuanya, dari awal hingga akhir.

Tanpa permisi lagi wajah Abian langsung memerah dalam hitungan detik, ia berteriak sambil masuk bersembunyi ke dalam selimut.

Melihat itu Juna terkejut, panik juga akibat gerakan Abian yang sangat tiba-tiba itu, "Bi, kamu kenapa?" tanyanya sambil berusaha membuka selimut, namun sulit, Abian terlalu teguh mengunci dirinya sendiri di bawah kain tebal itu.

"Stooopp! Hak bicara lo gue cabut, plis jangan bicara," jawab Abian, suaranya sedikit teredam tapi masih bisa Juna dengar dengan jelas.

Panik dirasakan oleh Juna, pikiran bahwa Abian membencinya menjadi ketakutan terbesarnya saat ini, "Soal semalam saya minta maaf, kamu bisa pukul saya sekarang tapi jangan benci saya ya, Bi,"

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang