dua puluh tujuh.

7.3K 722 58
                                    

Ternyata memasuki trimester kedua, tidak ada lagi sifat Abian yang ingin terus mengendus bau Juna, tidak ingin jauh walau sedetik saja, hanya ada sifat Abian yang membuat Juna harus mempertebal kesabaran.

Waktu memang sudah berlalu selama itu, dari Abian yang masih bisa keluar kesana-kemari karena perutnya masih rata, sampai pada saat ia harus terus tinggal di dalam rumah untuk menghindari tatapan aneh orang-orang akan perutnya yang sudah membesar.

"Mas, ini bisa di copot dulu ngga sih ade nya? Aku malas banget, jadi susah ngapa-ngapain."

Juna dikejutkan oleh Abian yang tiba-tiba datang menghampiri saat ia sedang menonton saluran berita di televisi, suaminya itu terlihat cemberut, kening mengerut, masih berdiri di sebelah sofa dengan dua tangan yang ia lipat di depan dada.

Yang lebih tua memegangi dada nya, segera ia ubah gaya duduknya, sebelum menepuk tempat kosong di sebelah, "Kenapa lagi sayang ade nya? Kesusahan kenapa, kamu mau apa, biar mas bantu," balas nya dengan nada lembut penuh pengertian.

Masih dengan ekspresi kesal, Abian berjalan mendudukkan diri di sebelah Juna, dua tangan masih terlipat, "Aku tuh capek banget hamil gini, aku ga bisa, gantian deh mas."

Lagi dan lagi, Juna sampai tidak tau ini yang keberapa kalinya Abian mengomel pasal kehamilan, mengeluh karena berat lah, karena susah gerak lah, baju tidak ada yang muat lah, bahkan sampai mengeluh untuk gantian bawa calon bayi mereka.

Jika sudah seperti itu Juna harus memberikan sejuta pengertian serta bujukan pada suami kecilnya itu agar tidak mengamuk karena merasa ia telah pilih kasih antara Abian dan anak mereka.

"Kamu kenapa lagi sayang, bilang sama mas coba maunya apa, kalau kesusahan karena ade biar mas bantu." Tangan Juna mengelap bulir keringat pada dahi Abian yang duduk menyamping, memang akhir-akhir ini bulir keringat sering kali muncul pada dahi, area kumis, serta pada dagu suami kecilnya itu.

Abian akhirnya menoleh, ia pandangi Juna yang dengan sabar menyingkirkan anak rambut lepek nya, "Apaan di bantu segala, alay banget. Aku bisa sendiri, tapi karena ade udah mulai besar di dalam aku jadi makin susah gerak nya, ini ade nya mas bilangin ngga sih, ngga usah bikin aku repot, bandel banget anak mu." Kesal Abian, sedangkan Juna mau tidak mau harus mendengarkan segala celoteh yang keluar dari bibir si manis.

"Loh kan bagus kalau ade udah besar, masa juga kecil terus anaknya. Makanya atauh sayang, kalau mau apa-apa bilang mas dulu, biar mas bantu nantinya."

Kening yang lebih muda makin mengerut, matanya memicing menatapi Juna, "Mas kok bela ade terus? Kalau dilihat dari manapun kan yang rugi itu aku, kenapa jadi belain ade. Yaudah ambil aja ade nya, taruh aja di dalam perut mas, kan mas sayang pake banget sama ade."

Juna pandangi suaminya, ia lihat segala perubahan pada penampilan si manis, tubuh sudah mulai berisi, apalagi bagian pipi, sudah ingin tumpah jika terus mengomel lucu. Sebelum kembali membujuk sang kasih, Juna terkekeh, "Duh mas salah ngomong ya kayaknya? Bukan gitu sayang maksudnya. Mas ngga belain ade kok, malah mas belain kamu loh ini, mas mau bantuin kalau kamu ada yang susah," jawab Juna lembut.

Yang lebih muda menghela napas, kesal akan Juna yang tidak mengerti mau dirinya, tapi jujur saja Abian juga bingung sendiri mau nya apa sebenarnya, ia hanya ingin terus mengomel karena calon anak mereka yang telah membesar membuat dirinya harus mengurung diri, mungkin karena itu, jadinya Abian setres sendiri.

Karena tidak mendapatkan jawaban, Juna menggeser duduk, setelahnya ia luruskan kaki si manis di atas paha nya, mulai memijat kecil di sana sambil pandangi suaminya sayang.

"Pegal ya sayang kaki nya?" Kembali Juna buka pembicaraan, menghadapi Abian mode seperti ini harus banyak sabar dan pintar membuka topik agar tidak mengundang kesal si manis.

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang