empat.

7.1K 726 44
                                    

Pagi kali ini berbeda, soalnya baru pukul tujuh pagi semua anggota keluarga sudah sibuk, sibuk mengantar putra mereka untuk pergi bersama suaminya.

Pria yang baru saja kemarin melaksanakan acara pernikahan, terkekeh melihat keantusiasan keluarganya, sebegitu tidak sabarnya kah mereka mengirim dirinya menjauh dari rumah.

Juna menggeret dua buah koper, tentu saja barang sebanyak itu bukan miliknya, melainkan Abian. Langkahnya ikut berhenti ketika yang lebih muda juga berhenti, Juna dapat melihat semuanya berkumpul di halaman rumah mewah yang ia tinggali beberapa hari lalu.

"Kamu beneran ngga mau terima mobil pemberian om aja Jun? Hitung-hitung sebagai tambahan kendaraan untuk kalian berdua nanti."

Juna menggeleng, menolak dengan sopan, "Ngga usah pak, lagian jalan menuju desa ngga semulus itu untuk menggunakan mobil sebagai kendaraan sehari-hari."

Arya akhirnya menyerah saat lagi-lagi mendengar penolakan Juna untuk yang kesekian kalinya, "Yaudah saya nitip anak saya ya Juna."

"Abian, sini pamit sama Papa, Mama, juga kembaran kamu." Tiara berujar, tangannya ia gunakan untuk menyambut sang putra masuk kedalam dekapan.

Walau malas, Abian tetap melangkah mendekat, ia peluk Papa dan Mamanya, sesekali ia putar bola matanya malas, apalagi mendengar nasehat-nasehat dari orang tuanya. Abian masih kesal.

Hingga tiba untuk pamit dengan kembarannya, tidak tahan rasanya saat ia merengkuh tubuh gadis yang mirip dengan nya itu, rasa benci satu sama lain terasa sangat pekat, sehingga aneh rasanya melakukan drama kedekatan yang berlebihan.

"Kalau gitu kami pamit ya pak, ibu, Anin." Juna memandang satu persatu keluarga dari Abian, untuk pamit terakhir kalinya, sedangkan Abian telah duduk santai dalam mobil. Jujur dirinya muak melihat ekspresi sedih berlebihan dari saudara kembarnya, sungguh lucu untuk ukuran seseorang yang bersedih melepas abang iparnya sendiri.

Abian akan menaiki mobil menuju desa yang dihantar oleh supir keluarga, sekalian mobilnya mengangkut barang-barang bawaannya, jaga-jaga untuk ia gunakan saat berada di desa kulot itu.

Sedangkan Juna menggunakan motor Vespanya sendiri, membiarkan Abian dihantar menggunakan mobil, tidak mau pria mungil itu merasakan lelahnya bermotor selama berjam-jam.

Setelah menempuh jalanan berkilo-kilo meter, akhirnya sampai juga di kediaman Juna.

Sebenarnya untuk ukuran tinggal di desa sih, Juna terbilang cukup mapan, rumah batu yang lumayan besar, tidak bertingkat memang, tapi di sekitar itu, rumah Juna yang paling menonjol. Halaman rumput hijau segar, serta satu pohon mangga, terlihat sangat sederhana dan nyaman.

Juna menurunkan standar motornya terlebih dahulu, baru ikut membantu sang supir menurunkan barang dari bagasi mobil.

Baru saja mesin mobil dimatikan, sudah ada beberapa warga yang mendekati mereka, sudah menjadi kebiasaan warga desa untuk membantu ketika ada suatu pekerjaan, seperti sekarang ini, para warga seketika mendekat saat melihat Juna dan pak supir sedang mengangkut barang.

"Eh pak Juna udah pulang, libur buat apa toh pak sampai hampir seminggu gini."

Juna menoleh ke sumber suara, bisa matanya lihat beberapa tetangganya sedang membantu mengangkut barang, "Saya libur untuk nikah pak, kebetulan jodohnya orang kota sana." jawab Juna.

Warga yang lain tertawa, "Aduh ternyata pak Juna bisa bercanda juga toh."

Juna hanya ikut terkekeh, normalnya orang-orang pasti tidak akan ada yang percaya dengan alasannya, apalagi liburnya mendadak, dan jujur saja terlalu singkat sebenarnya jika liburnya itu karena mau nikah.

Barang-barang telah terangkat semua masuk dalam rumah, pak Tatang, selaku supir pribadi keluarga Abian, datang mendekati Juna yang baru selesai menutup pintu bagasi mobil.

"Den Juna, itu den Abian nya masih tidur, saya pikir tadi mungkin aden bakal bangun kalau udah selesai angkut barang." ujar pak Tatang.

Mata Juna mengarah ke kursi depan, "Yaudah, biar saya aja yang bangunin pak."

Pak Tatang mengangguk, lalu akhirnya memberikan ruang untuk Juna lewat.

Pintu mobil terbuka, Juna melihat posisi Abian yang tertidur, ponsel tergeletak bebas di perut, posisi kursi mobil terlihat telah direndahkan yang membuat Abian dapat tertidur nyaman.

Juna mengantongi ponsel milik si mungil, serta merapikan cemilan anak itu, mengumpulkan kembali dalam satu kresek, baru akhirnya membangunkan Abian.

Juna menggoyangkan bahu nya pelan, "Abian bangun, kita sudah sampai."

Tidak ada pergerakan, dengkuran halus masih terdengar, menandakan sang pemilik tubuh masih lelap dalam tidurnya.

"Bi bangun Bi, sudah sampai." Kali ini Abian sedikit terusik, mungkin karena Juna yang makin menggoyangkan bahunya.

Sipit Abian terbuka dari tidur nyenyak, mengerjap beberapa kali untuk memfokuskan penglihatan. Saat sudah sepenuhnya sadar, Abian mendapati Juna yang masuk setengah kedalam mobil, bahkan satu tangan pria itu telah berada di belakang lehernya.

"Kamu bisa langsung jalan? Kalau masih ngantuk saya gendong aja."

Sontak sipit Abian makin membesar, gila. Juna gila. Bukan gila karena menawarkan gendong ya, maksud Abian tuh, masa baru bangun tidur ngga bisa langsung jalan, kan gila, kenapa bisa pria itu memiliki pemikiran yang sangat alay.

Mengabaikan tawaran Juna, yang lebih muda langsung beranjak dari mobil. Setelah memastikan barang-barang Abian tidak ada yang tertinggal, Juna pun akhirnya menutup pintu, baru setelahnya berjalan sambil menenteng satu kresek sisa cemilan suaminya.

Mata Abian berpendar, bingung sekaligus risih saat mendapati beberapa orang asing yang memfokuskan pandangan padanya. Merasa tidak nyaman, Abian memutar kembali langkahnya, menghampiri Juna.

Abian mendengus malas, "Kenapa semua orang itu lihat-lihat gue sih," ujar Abian berbisik, sambil matanya melirik satu persatu orang yang masih melihatnya.

Juna tersenyum, merangkul pundak yang lebih muda, menuntunnya menuju ke beberapa warga yang tadi kata Abian terus melihat kearahnya.

"Itu teh siapa pak Juna? Wajah baru kelihatannya."

"Ini anaknya teman dari bapak sama ibu saya dulu, anaknya mau coba tinggal di desa, pak." Anggukan para warga menjadi respon dari kalimat Juna barusan.

Sedangkan Abian yang dikenalkan itu hanya bisa melihat Juna dan beberapa warga secara bergantian, menunggu gilirannya untuk keluar dari suasana ini.

Juna merapatkan rangkulan pada bahu Abian, sebagian sisi tubuh mereka rapat, menundukkan kepalanya sedikit, lalu berbisik pada telinga pria dalam rangkulannya.

"Kalau mau istirahat kamu masuk dulu aja, itu depan, rumah saya, rumah kita." bisik Juna.

Abian meremang, jika tidak ada siapa-siapa sudah dipastikan senui siku melayang pada perut Juna, menjadi aksi KDRT pertama dalam keluarga mereka.

Dengan tergesa-gesa Abian melepaskan rengkuhan Juna pada bahunya, lalu berjalan masuk ke dalam rumah yang telah Juna sebutkan tadi.

Sepeninggalan Abian, tidak lama, pak Tatang pun pamit pulang, menyisakan Juna dan beberapa warga yang masih berkumpul, mengobrol ringan hingga satu persatu juga ikut pamit pulang.



























ʘ‿ʘ

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang