Bab 45

227 16 0
                                    

"Dira nggak alergi cumi," ucap Agra dengan tatapan tajam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dira nggak alergi cumi," ucap Agra dengan tatapan tajam.

Dila menelan ludahnya, ia barusaja mengatakan sesuatu yang sangat di luar prediksinya. Dila barusaja melupakan kalau sang adik sangat menyukai makanan dari cumi.

Agra membuka mulutnya lagi, "Dira nggak bisa bawa sepeda, Dira nggak pernah ngomong kasar," tambahnya memberikan pukulan telak pada Dila.

Anjir, gua tau sifat gua nggak mirip sama adek gua, batinnya.

"Lu siapa?" Tanya Agra membuat Dila terdiam kaku.

Semua tuduhan Agra memang ada benarnya, Dira memang tak pernah berkata kasar berbeda dengan Dila yang kalau sehari tidak berkata kasar rasanya ada yang kurang akan hari-harinya.

Agra masih menatap Dila dengan tatapan tajam menunggu jawaban yang akan diberikan oleh gadis itu. Akankah Dila mengatakan sebenarnya atau mengelak begitu saja.

Dila melirik Agra dari sudut matanya kemudian ia menghela nafas panjang, "lu bener, gua bukan Dira," jawab Dila tak lagi ingin menyembunyikan identitasnya.

Agra tampak terkejut, matanya terbuka lebar seakan tak percaya akan kalimat yang ia dengar barusan. Dila hanya menghela nafas panjang memahami ketidakpercayaan dari tatapan Agra padanya.

"Te-"

"Lu bakal temuin jawabannya kalau lu ngikutin petunjuk gua," potong Dila.

Agra mengerutkan keningnya, "kemana?" Tanyanya, kini terlihat kalau dirinya tak percaya pada Dila.

"Ke tempat Dira," jawab Dila menatap Agra.

                               ✨✨✨

Keadaan yang sunyi, lembab, dan suasana aneh yang membuat perasaan orang-orang yang datang serasa tak nyaman, namun orang yang sudah biasa akan tempat tersebut pasti akan merasa itulah ketenangan.

Agra mengikuti langkah Dila melewati rentetan pohon bunga Kamboja yang sudah tinggi dari tubuhnya, jalan yang dibuat dari semen serta rentetan keramik yang di susun rapi dengan nama-nama orang, tanggal lahir serta tanggal wafatnya mereka.

Dila membawa Agra ke sebuah makam dengan keramik berwarna biru laut yang tampak masih baru dan bersih, ia berhenti di sana dan berdiri tepat di badan makam tersebut.

"Ini..."

"Makam Dira," jawab Dila dengan senyum pahit.

Agra menjatuhkan hp yang ia genggam ke tanah, matanya melebar dan terlihat mulai berair. Dila menundukkan kepalanya merasakan sakit yang menyesakkan dadanya seperti saat dirinya tahu Dira pergi dulu.

"Dira nggak selamat, pendarahan di otaknya terlalu banyak dan parah sehingga dokter nggak bisa menyelamatkan waktu operasi itu," ujar Dila dengan suara serak.

Suaranya terasa tercekat saat bicara, menahan agar air matanya tak jatuh di depan Agra. Bagaimana dengan Agra? Dia tampak lemas tak berdaya dan mulai berlutut di tanah pemakaman tak peduli pakaiannya kotor. Matanya menatap ke arah nama yang terukur di atas keramik makan tersebut, nama yang selama ini membuatnya senang.

Dia Kembaranku [Slow Update] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang