Saat pertama kali aku sadar betapa atraktifnya dia, aku pikir ini hanya kekaguman belaka. Aku terlarut dalam penyangkalan hingga tak sadar teraduk dalam pusaran pesonanya. Padahal aku lebih rasional dibandingkan Ariel, duyung berumur 16 tahun yang impulsif.
Inikah yang dinamakan kebodohan?
Menundukkan kepala, menghindari kontak mata dan berpura-pura lemah di depannya. Itu sama sekali bukan diriku. Begitulah yang aku pikirkan sampai aku sadar bahwa dia berhasil mengeluarkan jiwa kecilku yang ingin dilindungi.
Dia adalah orang yang pertama kali mengutarakan pendapatku dengan cara yang bahkan tidak kusadari.
Dia juga yang membuatku merasa bahwa aku bisa bersandar padanya.
Namun...
***
"Kalian tidak boleh masuk ke lapangan dengan kostum seperti ini."
Atmosfir disekitarku menjadi berantakan. Ini semua karena pelatih sialan itu. Kalo bukan karna celetukannya itu, mungkin sekarang kami masih aman dan tentram.
Aku sudah cukup pusing dengan kesibukanku. Bangun di pagi hari, ujian sampai siang, sore latihan, dan malamnya harus belajar untuk ujian besoknya.
Ini masih dalam situasi Covid-19. Aku sampai dimarahi oleh ibuku karena nekat minum vitamin yang sama lebih dari yang dianjurkan saking takutnya tubuhku drop. Kalau aku terkena covid sekarang, aku akan mengutuk pelatih itu paling awal.
Mengundurkan diri. Bukan cuman sekali aku berpikir seperti itu. Tapi, aku punya tanggung jawab di sini.
"Bukannya panitia bilang kami boleh memakai baju bebas di stadium kemarin?" Tanya seorang anggotaku.
"Iya, tapi bukan yang berlogo seperti ini. Kalian hanya boleh pakai baju yang polos diluar sponsor."
Kepalaku tambah panas. Dalam hatiku, aku sudah mengumpati si pelatih itu. Aku berada dalam suasana hati yang tidak kondusif selama sebulan. Sekarang aku bahkan menerima cobaan seperti ini. Cukup, aku sudah mengacaukan pergaulanku di tim.
Aku ingin ini semua cepat berakhir dan pulang!
"Ada apa ini?" Coach tim basket sekolah kami bertanya. Aku melihat dia yang sangat tenang dalam situasi ini. Di sebelahnya ada ketua kelasku, Wonwoo. Aku lupa dia berada di sini. Terserah saja.
*coach: pelatih
Aku terus bernyinyir kecil sembari tanpa sadar terus melihat ke arah ketua kelas. Bagaimana tim basket bisa sangat tenang dalam situasi seperti ini? Tim dance tidak bisa mendampingi mereka akan menjadikan semua pertandingan invalid. Ah kepalaku.. panas. Rasanya aku ingin menangis saja.
"Coba saya bicara dulu dengan panitia lain." Ujar coach tim basket.
Kami diam. Aku berusaha menjauhi tempat itu. Suasana hati kami tidak kondusif. Aku yakin karena inilah aku tidak bisa mengendalikan emosiku.
Di saat tim basket didampingi oleh coachnya. Tim dance malah harus mengurus semuanya sendiri. Bahkan kami telat dalam persiapan karena sekolah tidak menerima pelatih lain selain dirinya. Kalau saja kami mendapatkan pelatih lain, apakah akan ada perubahan?
Aku merasa sepertinya ketua kelas melihat kami. Aku juga tahu bahwa pandanganku tak bisa lepas darinya. Karna... Aku tertarik padanya.
Aku juga sempat tertarik dengan salah satu kakak kelas saat SMP dan sadar bahwa benar itu hanya tertarik belaka. Tapi, Wonwoo.. entah kenapa dia membuatku sangat lemah di depannya. Bahkan aku merasa malu jika berbuat kesalahan di depannya. Aku bukanlah manusia yang jaim bahkan bisa di bilang aku tidak tahu malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine: Be mine?
FanfictionImagine Oneshot You and Seventeen member Season 1 (end) Season 2 (end) Special part (End)