Pernahkah kalian berpikir bahwa wanita bisa hidup tanpa lelaki. Itu yang ada di pikiranku saat ini. Maksudku, kenapa aku harus menikah di saat aku masih bisa memenuhi kebutuhanku sendiri? Aneh memang untuk sebagian orang. Lagi pula berkomitmen itu bukanlah candaan anak tk.
Faktor lainnya adalah sangat kurang lelaki yang ingin perempuan lebih tinggi derajat dibandingkan dirinya. Hal itulah yang membuatku tidak juga mendapatkan pria. Walaupun aku tidak masalah jika harus melajang sampai tua. Lucunya adalah ibuku yang seperti cacing kepanasan memaksaku mencari pacar segera.
Mengesalkan.
Aku berjalan santai sembari memegang kopi di tanganku. Jalan besar di kota New York sangat sibuk namun hal itu juga yang menjadi ciri khasnya. Sekalian untuk mencari inspirasi untuk fashion item yang akan kurilis bersama stafku yang lain.
Aku memang berdarah korea, lahir dan besar di Daegu tapi New York sebagai salah satu kota dengan reputasi fashion terbaik membuatku berhasil memantapkan diri untuk membangun karir di kota ini. Support dengan perusahaan sponsor juga membuat brandku semakin terkenal. Namun, Untuk saat ini pasar eropa adalah targetku.
''BRUK!'' Buruk sekali. Tiba-tiba ada yang menabrakku dan membuat kopi yang awalnya ada di tanganku tumpah membasahi jalanan.
"Sorry, Miss." Ucap Pria yang menabrakku. Aku melirik sekilas pria itu. Kulitnya putih, rahangnya tegas dan wajahnya seperti orang asia. Aku menggelengkan kepalaku, lalu mengambil nafas pelan. Ya sudahlah lagi pula dia juga tidak sengaja dan lagi tidak baik jika menilai fisik orang yang bahkan tidak aku ketahui siapa namanya
"No problem" Aku segera mengambil gelas kopi yang sudah kosong lalu membuangnya ke tempat sampah. Aku pun berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
***
Aku baru saja menyelesaikan mandiku. Berkeliling kota New York memang pilihan yang bagus. Namun, rasa penat adalah salah satu konsekuensinya. Aku mengambil sketch bookku lalu menggambar apa saja yang kudapat tadi. Jujur saja, banyak sekali ide baru yang ku dapatkan setelah berkeliling tadi.
Apalagi tentang pria yang menabrakku tadi siang. Jujur saja, aku memang tidak sopan karena memperhatikan wajahnya. Yah walaupun sekarang aku sudah tidak mengingat wajahnya tapi siluet tubuhnya masih ada dalam ingatanku. Postur tubuhnya membuatku ingin membuat baju yang jujur saja yang cocok untuknya. Tidak tahu kenapa, hanya ingin saja.
'Tring tring'
"Halo..."
"Anak ini! Kenapa kau baru mengangkat handphonemu sekarang?" Aku menjauhkan handphone dari telingaku. Jahat sekali. Baru saja aku mengangkat telefon aku sudah di ocehi
"Iya maaf, eomma. Aku baru pulang."
"Memangnya tadi kau tidak membawa handphonemu?"
"Aku membawanya."
"Lalu?"
"Tidak kedengaran."
"DASAR ANAK NAKAL! LAIN KALI KAU..." Bla bla bla kutebak isinya adalah ceramah yang berkepanjangan mengenai bagaimana sang orang tua yang sangat mengkhawatirkan anaknya. Biar kutebak pembahasan selanjutnya adalah kapan aku menikah.
"Sudahlah ibu. Kenapa ibu menelfon?"
"Aish.. dasar anak durhaka. Dengar ibu bicara dulu. Ya sudah, kapan kau memperkenalkan pacarmu padaku? Teman-temanku semuanya sudah mengendong cucu. Kau tega membuat ibumu ini mati dengan melihatmu masih menjadi perawan tua?" HEH PERAWAN TUA? AKU BAHKAN BARU SAJA MASUK UMUR 32 TAHUN.. Apa itu sudah termasuk tua?
"Eomma, aku tidak ada niatan ke arah sana dan lagi aku belum punya pacar. Oke?"
"Kapan kau akan serius?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine: Be mine?
FanfictionImagine Oneshot You and Seventeen member Season 1 (end) Season 2 (end) Special part (End)