Rumah—tempat paling salah.
Katanya, pagi itu indah di mana kau dapat menghirup kemurnian dari dunia. Burung dengan senang hati bernyanyi, udara masih ramah, dan embun siap membelai halus keterpurukan jiwa-jiwa muda. Namun, bagi Anjani, semuanya tak lebih baik dari gelas kosong yang pecah.
Kalian semua anjing!
Setiap pagi, Anjani harus bersembunyi dalam selimut dengan tubuh bergetar sembari menutup telinga, kemudian menangis tertahan karena kedua orang tuanya selalu adu suara. Entah karena masalah besar, ataupun masalah kecil yang dibesar-besarkan. Namun, dari sekian banyak kata lembut di muka bumi ini, ia tak berpikir bahwa ada satu kata kasar berhak diucapkan seorang suami untuk wanita yang telah memberi pria itu keturunan.
Lonte! Bisanya cuma ngangkang!
Kalimat jahat itu selalu terlintas di pikiran Anjani, memperburuk ingatannya mengenai masa lalu kelam gadis itu. Namun, apa salah sang ibu hingga pantas mendapatkan cacian sedemikian hina?
"Hujan kayak gini, kalau jalan jangan lelet."
Ucapan datar itu berhasil membuat Anjani tersentak, mencari sumber suara yang terdengar samar sebelum jaket tebal jatuh pada bahunya.
Pria itu tampak mengembuskan napas. "Seharusnya, perempuan lebih peka kalau pelecehan bentuknya enggak cuma fisik aja."
Anjani masih belum mampu mencerna apa pun. Netranya tiba-tiba sibuk memperhatikan tetesan air yang membasahi rambut legam pria itu, menuruni hidung dan bibir berwarna kemerahjambuan. Ia yakin bahwa sosok di hadapannya bukan seorang perokok.
Pria itu menunjuk ke arah halte. "Di sana."
Gadis itu pun refleks membenahi jaket pada bahu setelah menemukan banyak pria yang memperhatikan tubuhnya dengan ekspresi mesum. Masa lalu buruknya terulang, menyebabkan tubuh Anjani gemetar hebat. Namun, ia berusaha menarik napas. "Pak, to-tolong antar saya pulang." Ekspresinya tampak takut.
"Rumah kamu di mana?!" Padahal pria itu memekik, tapi suaranya tertelan oleh hujan dan guntur.
"Di sana!" Anjani menunjuk lurus ke depan. "Lurus aja! Enggak terlalu jauh dari sini."
Pria itu mengangguk sesaat, membawa tungkai keduanya agar berlari sekencang mungkin. Entah berapa banyak tetes hujan mengenai tubuh mereka sebelum akhirnya tiba di seberang rumah megah. Hitungan menit, keduanya telah berpindah ke teras rumah.
Anjani menunduk cemas sebelum mendongak sembari mengembuskan napas. Ia perhatikan, wajah pria asing di hadapannya pucat dengan pakaian basah, menyebabkan bibir gadis itu tersenyum kasihan. "Makasih, ya, Pak, udah bantu saya," lirihnya dengan mata menyipit, dibuat semanis mungkin, berusaha menyembunyikan tubuh yang bergetar. Belum lagi gigi kelinci yang memperlucu wajahnya.
Pria itu mengangguk dengan tangan yang ia kibas-kibaskan untuk mengurangi basah, berusaha menghangatkan tubuh. "Lain kali, bawa payung kalau pergi. Ya, minimal tunggu sampai hujan reda," ucapnya pelan, tapi menyiratkan omelan.
Gadis itu menyengir kuda, memperhatikan sekeliling karena merasa bodoh. "Saya memang enggak percaya kata-kata mama yang bilang kalau hari ini akan hujan. Sekali lagi, makasih banyak, Pak," ucapnya kikuk dengan senyuman mengembang.
Anggukan pria itu tampak santai. "Soalnya, kalau kena air, seragam sekolah akan tembus pandang. Takutnya kamu kenapa-kenapa di jalan." Ia menghela napas sebelum menunduk lesu. "Kita enggak tahu apa yang ada di pikiran orang."
Gadis itu memaku. Wajahnya makin pucat. Ia membenarkan ucapan pria di hadapannya sebelum tersenyum tidak enak. "Maaf, ya, Pak. Saya jadi ngerepotin—"
"Enggak apa-apa. Besok jangan diulangi lagi. Soalnya, kamu perempuan. Jadi, yah ...," pria itu mengedikkan bahu, "agak riskan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Любовные романы⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...