08. Kebahagiaan Itu Bukan Miliknya

41 7 0
                                    

Alih-alih terselesaikan, luka dan penderitaan Anjani makin mengendap hingga membentuk nanah.

"Ini anaknya, ya, Pak?"

Lamunan Anjani buyar sementara Abian berdehem, menyorot gadis itu yang tampak gagu. Akhirnya, ia menggaruk tengkuk yang tidak gatal karena bingung harus menjawab apa.

"Bu-bukan. Zaya adik saya, Dok." Anjani menyengir kuda. "Saya masih sekolah, kelas tiga akhir," jelasnya lagi.

"Oh, saya kira anak sendiri." Wanita itu terkekeh lucu sebelum kembali sibuk dengan lengan mungil Zaya.

Hari ini adalah jadwal Zaya ke dokter. Namun, jangankan membawa sang buah hati, Atma pun sama sekali tak mengingat bahwa sudah waktunya Zaya imunisasi. Wanita itu dengan santainya pergi bersama Haekal sedari pagi, entah ke mana.

"Jangan nangis, Zaya. Enggak apa-apa. Bu Dokter enggak akan gigit kamu." Berbagai macam rayuan telah Anjani keluarkan agar sang adik tenang, tapi nihil.

"Ini kakaknya, ya?" Wanita ramah itu kembali bertanya sembari menunjuk Abian.

"I-iya." Anjani mengangguk, kemudian menyorot Abian tidak enak.

"Saya kira pacarnya." Wanita itu terkekeh lagi, kemudian mendekatkan wajah ke arah Anjani dan Abian. "Semoga kalian segera dapat pasangan dan cepat dikasih momongan, supaya enggak ngurus adik terus."

Berbeda dengan Anjani yang meringis canggung, Abian tersenyum santai dan berucap, "Amin."

Setelahnya, mereka hanya terkekeh lucu, tak berpikir apa pun selain beranggapan bahwa dokter yang menyuntik Zaya memang memiliki selera humor tinggi.

Mereka melangkah beriringan sekeluarnya dari ruang dokter. Zaya yang sempat histeris pun mulai terlelap tenang.

"Kamu boleh ke apartemen saya kalau mau istirahat dengan tenang," tawar Abian.

Anjani mendongak. "Pulang aja, Mas. Biasanya, kalau habis imunisasi, Zaya bakalan rewel banget."

"Kalau di apartemen saya, saya bisa bantu kamu ngurus Zaya."

Gadis itu tersenyum lagi. "Nanti Zaya ganggu ketenangan Mas Bian. Pulang aja, Mas."

Karena tidak ingin memaksa, pria itu mengangguk pasrah. Namun, langkah keduanya terhenti karena menemukan Haekal dan Atma yang tengah bercengkerama, nyaris berpapasan dengan mereka. Ketika jarak keduanya mulai dekat, Anjani menghentikan langkah. Jemarinya refleks meremas lengan kemeja Abian.

"Kalian ...." Ucapan menggantung Atma berlabuh ke arah perut Anjani sebelum mengulas senyum. "Boleh mama bawa Zaya?" Lengan wanita itu terulur.

Anjani mengelak, melangkah mundur. "Zaya harus istirahat," balasnya datar sebelum berlalu ketika Abian menarik bahu gadis itu.

Tanpa sadar, pipi Anjani kembali basah. Banyak luka jiwanya yang tak bertuan, berlebih berpenawar. Fakta bahwa Atma melupakan jadwal imunisasi Zaya—padahal hari ini wanita itu juga memiliki jadwal periksa kandungan—adalah lukanya.

"Anjani—"

"Saya baik-baik aja, Mas." Anjani tersenyum lembut sebelum menarik napas.

Ia berbohong.

***

Kata Abian, sesakit apa pun lukamu, hidup akan terus berlanjut. Kau harus tetap merasakan nikmatnya sereal.

Gadis itu bersila di sofa ruang televisi setelah memastikan bahwa Zaya dapat tidur tenang malam ini. Sesuai permintaan Abian, ia menikmati sereal dengan susu cokelat karena gadis itu tidak menyukai susu putih. Namun, ketenangannya harus beranjak karena menemukan siluet dua insan yang berjalan ke arah ia berada. Mereka layaknya pasangan bahagia yang menunggu kelahiran sang buah hati.

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang