Entah berapa kali Anjani mengitari kamar sembari meremas jari dengan perasaan gelisah akibat kehadiran Abian di hari-harinya meskipun secara virtual.
Masalah hidup gadis itu telah rumit dan ia tak ingin hubungan baik mereka suatu saat nanti menjadi bumerang. Belum lagi Abian yang saat ini telah memiliki kekasih dan akan segera menikah. Anjani mulai mengakui bahwa pria dan wanita yang bertemu setelah dewasa memang tidak dapat berteman dekat.
Ia menarik napas setelah berusaha menghubungi pria itu sebanyak dua puluh kali. Jika Abian tak menjawab, Anjani akan langsung mengganti nomor ponselnya.
"Anjani, mas baru pulang. Tumben kamu nelepon sampai berkali-kali? Kamu mau ngaku kalau kamu memang salah jurusan?" Di ujung sana, Abian tertawa mengejek.
Mungkin jika dalam keadaan baik-baik saja, Anjani akan tersenyum. Namun, kekhawatirannya meningkat setelah berpikir selama beberapa hari ini. "Mas, sebaiknya kita enggak usah komunikasi lagi." Jemarinya bergetar, setengah mati menahan rangsekan bening dari sudut mata. Ada ketidakrelaan, tapi ia bisa apa sebagai manusia?
"Kamu bercanda? Kenapa?"
Anjani berdehem. "Aku harus fokus kuliah karena—"
"Mas tahu kamu bohong, Anjani." Abian memotong.
Gadis itu mengusap pipi, kebingungan. "Aku cuma .... Aku enggak bisa, Mas."
"Apa karena pernikahan kami?"
Gadis itu mengangguk sebelum menggeleng. Ia telah berusaha untuk menampik, tapi gerakan refleks Anjani tak mampu berbohong. "Bukan."
"Bohong."
"Aku cuma pengin kita enggak komunikasi lagi. Masalah hidup aku udah rumit, Mas." Tenggorokan Anjani seperti tersumpal batu. "Aku enggak mau rasa nyaman satu sama lain suatu saat nanti makin membuat aku ngerasa sulit. Sebentar lagi, Mas udah enggak sendiri."
"Anjani—"
"Kalau Mas menganggap aku adik, aku juga menganggap Mas kakak. Tapi aku belum tentu bisa ngontrol semuanya." Gadis itu menjauhkan ponsel ketika getaran di telinganya terasa nyata. Abian mengalihkan panggilan suara ke panggilan video, tapi Anjani abaikan.
"Kamu ngomong ap .... Anjani—"
"Mas harus ngerti ketakutan aku. Kalau masalah ini enggak mungkin terjadi sama Mas, tapi aku kenal sama diri aku. Dan kita enggak bisa lanjutin komunikasi ini."
Abian terdiam agak lama. Anjani mampu mendengar helaan napas pria itu.
"Kita akan ketemu kalau Mas pulang ke Indonesia. Selalu semangat walaupun aku enggak bisa ngasih Mas apa-apa. Makasih banyak, Mas Bian." Anjani menekan ikon merah, mengganti nomor lama dengan nomor baru agar Abian tak dapat menghubunginya lagi.
Luka gadis itu telah bernanah. Anjani tak sudi perasaanya pada Abian karena kenyamanan hadir sementara mereka tidak berada pada posisi yang mudah. Ia hanya menyelamatkan hati yang tak lagi berupa.
Gadis itu menoleh ke pintu ketika Luna memanggilnya dari luar. Karena penasaran, ia melangkah tergesa, tak memedulikan ponsel yang belum rampung gadis itu benahi. Setibanya di pintu depan, alis Anjani bertaut. Ia telah beberapa kali bertemu pria yang tak lain dan tak bukan adalah teman sang ayah. "Silakan masuk, Pak." Wajahnya semringah.
"Nak Anjani, saya teman Pak Brian, dari kepolisian."
Mendengar nama sang ayah, netra Anjani berbinar, amat penasaran. Rindu yang menguap seolah menemukan peraduan. Hanya Brian satu-satunya harapan Anjani untuk pulang meskipun pria itu bersikap kasar. "Bagaimana? Papa nelepon Bapak, ya?" Dadanya berdetak tak keruan, seolah menunggu kabar bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...