06. Kemunafikan

38 5 0
                                    

Bagi Anjani, dikhianati bukan selalu perkara besar yang lambat laun perihnya akan pudar karena waktu—terbiasa. Namun, tidak untuk perselingkuhan sosok yang paling gadis itu percaya dan sayangi sepanjang hidupnya. Kepercayaan Anjani telah patah, menyisakan sakit dan kebencian yang entah sampai kapan akan ia limpahkan pada sang ibu.

"Dari mana aja? Mama khawatir, Anjani."

Langkah Anjani terhenti. Ia yang telah menaiki beberapa anak tangga refleks mundur dengan ekspresi datar sebelum mengecup pipi Zaya di dekapan.

"Kamu pergi sama Abian dan enggak pulang semalaman. Apa mama pernah ngajari kamu bersikap seenaknya kayak gini?! Kamu itu perempuan, Anjani." Suara wanita itu terdengar parau, seperti menahan tangis.

Namun, apakah Anjani berdosa jika ia memilih untuk tidak peduli? Gadis itu tersenyum pedih. Mengingat betapa menjijikannya perlakuan sang ibu yang mengubah pandangan Anjani tentang kepercayaan, emosi gadis itu meluap. "Bukan urusan kamu!"

Jemari Atma mengepal. "Aku mama kamu, Anjani! Apa aja yang kalian lakukan sampai enggak pulang?!" Wanita itu menggeleng putus asa, menyiratkan kekecewaan. "Ini soal prinsip." Ia mengusap wajah frustrasi. "Mama enggak percaya kalau kamu semudah itu bermalam sama pria."

Mengapa wajah cantik di usia yang tergolong muda untuk sosok ibu beranak dua itu menjadi bumerang bagi Anjani ? Mirisnya, jika wanita itu bertanya apa yang Anjani perbuat semalaman hingga tidak pulang, ia memang pantas disebut tidak tahu malu!

"Kamu mau tahu apa yang kami lakukan?" Netra redup Anjani beralih pada wajah sang ibu yang mulai basah dan pucat. Gadis itu tersenyum lembut, seolah tanpa beban. "Bercinta. Memangnya, apalagi?" ucapnya tak kalah lembut sebelum mendapatkan tamparan hebat. Tak ingin Zaya menangis, ia mengayun tubuh.

Gadis itu tidak pernah ingin melukai perasaan sosok yang telah melahirkannya. Namun, Anjani manusia biasa. Memaafkan kesalahan yang ia anggap fatal tidak semudah merobek kertas basah.

"Anjani Sukma!"

Baru kali ini ia menemukan sang ibu yang tampak amat murka. Namun, bukankah yang berhak marah adalah dirinya? "Kami menginap di hotel yang ada di Bogor. Kamu pasti ngerti apa yang terjadi selanjutnya." Gadis itu berpaling ketika tamparan kembali mendarat pada pipinya. Netra Anjani mulai merah, tapi ia tak sudi melepas isak tangis di hadapan pelaku atas segala penderitaan gadis itu. "Kenapa jadi aku, sih, yang ditampar?!"

Mengapa penderitaan seolah berpihak padanya dan menjadikan gadis itu insan paling bersalah setelah menerima banyak luka? Dunia teramat tidak adil.

"Mama enggak pernah ngajari kamu jadi murahan!" Jemari Atma masih mengepal geram.

Tombak tumpul seperti menancap tepat di ulu hati Anjani. Jika tidak pernah mengajarkan, lantas pantas disebut apa kejadian menjijikan yang hingga kapan pun akan terekam di benak gadis itu, kemudian mengendap menjadi trauma? Anjani menggeleng. "Kamu memang enggak pernah ngajari aku jadi murahan, tapi kamu mempertontonkan bagaimana caranya menikmati ...."

Atma kembali menampar sang putri.

Bagi Anjani, ibunya terlampau muda untuk bersikap layaknya orang tua karena wanita itu amat egois dan tak ingin disalahkan.

Takut sang adik histeris, Anjani mengayun tubuh Zaya. Gadis itu tersenyum hambar ketika cairan kental mulai menuruni dagu kirinya. Tamparan sang ibu amat keras dan memerihkan, tapi tak seperih luka-luka Anjani. Ketika sosok rupawan berlari ke arah mereka, ia memalingkan wajah karena muak.

"Udah, Ma!" Haekal tampak panik.

Melihatnya, isi lambung Anjani benar-benar nyaris menyentuh kerongkongan, hendak muntah.

"Masa depan kamu masih panjang. Kenapa kamu—"

"How about you?" Sorot Anjani nyalang, tapi ucapannya santai.

Atma hendak mengayun tangan lagi, tapi tertahan oleh lengan kekar Haekal.

"Ma, cukup! Aku bilang udah, ya, udah!" mohon pria itu dengan napas berseteru.

Dalam gelengan, Anjani berdecih. Ia makin benci dan malu pada hidup ketika Haekal mengusap pundak wanita itu. Beberapa saat kemudian, sang ibu terisak pilu. "Munafik dan egois. Bahkan, kamu enggak tahu bagaimana cara kami melakukannya." Gadis itu mengusap pipi. Di sela perih, ia memperhatikan Haekal yang terperangah kecewa. Biarkan kebohongan menjadi pelajaran mereka.

"A-An ...."

Anjani mengangguk mantap sebelum mengecup dahi Zaya, kemudian mulai menaiki tangga.

"Tapi kenapa, Anjani?!" Wanita itu kembali histeris.

Anjani berbalik. "Karena kami saling mencintai."

"Bagaimana kalau kamu hamil?!" Wanita itu menggeleng letih. "Mama enggak mau kamu—"

"Apa susahnya minta pria itu bertanggung jawab?" sarkasnya.

"Kenapa kamu menghancurkan kepercayaan mama?!" Atma memekik lagi, kali ini lebih histeris. Ia seolah memvonis kesalahan orang lain tanpa mampu berkaca.

"Dan kamu menghancurkan kepercayaan aku sebagai anak! Sejak saat itu, aku udah enggak punya mama!"

***

Kapan luka jiwa dan fisiknya sembuh?

Gadis itu beranjak lemas setelah menidurkan Zaya, kemudian mendarat di kursi meja rias, mematut rupa menyedihkannya melalui cermin. Ketika bibir berdarah Anjani membuka, ia meringis ngilu. Jika hidup seperti ini, Anjani tidak menyukai cara Tuhan ketika menguji insan. Sedari awal, ia lahir dari rumah yang rusak—keluarga tak harmonis. Kini, diperparah oleh pengkhianatan sang ibu. Anjani benar-benar kehilangan segalanya.

Gadis itu mengumpat dalam hati karena lupa mengunci pintu kamar.

"Obati luka kamu, Anjani." Haekal menyodorkan kotak P3K.

Seolah bisu, Anjani memilih bungkam. Hanya tatapan kosong yang gadis itu beri melalui pantulan cermin datar.

"Aku bisa melepas Atma, tapi aku enggak bisa membiarkan janin di kandungannya lahir tanpa ayah." Pria itu menarik napas dalam.

Gadis itu berdecih, kemudian tergelak tolol, seolah menelan kebodohan. "Apa mata kamu enggak lihat foto siapa yang ada di dinding ruang tamu saat pertama kali ke rumah ini?"

Haekal menggeleng pasti. "Pertama kali ke rumah ini, fisik dan pikiran aku benar-benar capek. Jadi, aku enggak mikir apa-apa termasuk keadaan sekeliling selain pulang dan istirahat sebelum ...." Ucapan pria itu menggantung di tenggorokan.

"Sebelum kalian berzina? Sialan." Jemari Anjani mengepal.

Pria itu menarik napas. "Kasih tahu aku kalau kamu hamil. Bagaimanapun, aku berhak menggantikan peran papa kamu."

Jemari di paha Anjani terasa dingin, penyebab gadis itu tersenyum lembut meskipun menyiratkan sinis. Pikirannya amat kacau. "Kami bukan 'kalian' yang gila."

Haekal berlalu, menyisakan hening kamar Anjani.

"Kesalahan terbesar kamu adalah menghamili wanita bersuami, berengsek!" Ketika memperhatikan pintu kamar, gadis itu menemukan Luna yang memaku.

Senyum Anjani mengembang, luka, luka, dan luka karena sang sahabat mengusap pipi yang basah.

Luna menggeleng. Wajah gadis itu tampak cemas ketika menyorot Anjani. "Sampai detik ini, hubungan Bi Atma dan Haekal terasa seperti mimpi. Tapi enggak sengaja lihat mereka ciuman ...." Ucapan Luna menggantung.

Gadis itu tersenyum lembut. "Mama udah hamil anak Haekal. Tiga bulan."

Luna terisak pilu, kemudian menarik Anjani ke dekapannya. "Ma-maksud kamu, hamil di luar nikah?"

Anjani mengangguk, terbenam pada bahu Luna sembari meremas jarinya yang mulai bergetar.

Bisakah Anjani melanjutkan hidup di tengah hubungan sang ibu dan mantan kekasih gadis itu? Belum lagi sang ayah yang seolah tertelan bumi karena hingga detik ini tak lagi memberinya kabar.

Jika tak lagi memiliki rumah, di mana Anjani akan tinggal?

To be continue ....

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang