21. Gejala Mulai Terasa

34 1 0
                                    

Nyaris seminggu Anjani tidak menemui Chakra dengan alasan sibuk di kampus. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah ia memang tengah menghindar karena dihantui berbagai macam tuntutan dan kebingungan. Mungkin bentuk rasa bersalah karena mendengar anak bungsu pria itu—Arlen—mengidap kanker dan ia mati-matian menahan Chakra di apartemen sampai berhari-hari. Anjani pun tak sengaja menguping percakapan Billa dan Satria yang membahas bahwa saat ini Arlen sedang koma.

Dari: Mas Chakra
Anjani, kenapa enggak angkat telepon saya? Saya khawatir kamu sakit, tapi enggak jujur. Saya rasa, kamu memang sedang menghindari saya.

Wanita itu mengembuskan napas.

Kepada: Mas Chakra
Aku baik-baik aja, Mas. Ini lagi di kelas.

Anjani juga ingin memberi space untuk Chakra agar pria itu memiliki banyak waktu sehingga bisa mengurus sang putra.

"Selamat siang ...."

Anjani refleks menyorot ke depan kelas. Jemarinya tiba-tiba dingin. Dada wanita itu pun kembali berdenyut. Ia tidak menyangka bahwa dosen pengganti Pak Arya adalah Abian Arkhana.

"Saya dosen MSDM Internasional yang baru, pengganti Pak Arya." Pria itu berdehem, kemudian memasukkan telapak tangan pada saku, menguarkan karisma memabukkan.

Berbeda dengan teman sekelasnya yang berbisik sebelum heboh, Anjani hanya mampu memaku sembari mengigit bibir bagian dalam. Kepalanya berdenyut. Tubuh wanita itu makin lemas dan bergetar.

"Wah, saya kira pengganti Pak Arya dosen yang sudah agak tua. Ternyata lebih mudah dari saya."

Anjani refleks menoleh ke arah Rahman, mengabaikan kekehan Abian yang tampak sangat ramah.

"Jangan gitu, Man. Enggak sopan kamu." Itu suara Siska. "Aku pengin kamu mati, tapi kalau enggak ada kamu, kelas juga bakalan sepi." Gadis berambut ikal dan berwajah manis itu menggeleng-geleng heran. "Rahman ... Rahman ...."

"Langsung saja, ya?" Abian menyorot sekeliling sebelum memaku. Namun, karena ia harus profesional sebagai dosen, pria itu hanya menyunggingkan senyum tipisnya ketika saling tatap dengan Anjani. "Saya Abian Arkhana, sudah kepala tiga."

Anjani meremas jemarinya.

"Status, Pak?" Itu suara Rahman lagi. "Status pendidikan dan kehidupan."

Seisi kelas kembali terkekeh, kecuali Anjani. Wanita itu hanya memaku, bersiap diri mendengar seluruh pengakuan Abian yang mungkin saja ... berpeluang melukainya. Namun, jika iya, mengapa Anjani harus terluka?

"Saya sedang menempuh pendidikan S3." Pria itu melirik sekeliling. "Mohon doanya semoga pendidikan kita semua dilancarkan. Dan saya ...." Ucapan pria itu menggantung.

Di sudut kelas, Anjani meremas jemari sangat erat. Ia refleks menunduk. Bukankah status pria itu tak lagi berarti untuknya?

"Percintaannya, Pak? Ayok, dong, Pak, jujur sama kami."

"Ya Allah, Man. Bisa diam enggak, sih? Sabar kenapa?!" Cava menyorot pria receh itu dengan tatapan kesal.

"Saya udah punya istri." Pria itu tersenyum lembut ketika seisi kelas terdengar kecewa, terutama mahasiswi.

"Anak Bapak berapa?"

"Emang penting, ya, Sis?"

Siska yang paham bahwa ia tak akan menang jika melawan Rahman, hanya mampu mengembuskan napas, melebarkan kesabaran.

"Kebetulan istri saya sedang hamil anak pertama kami." Netra Abian tampak berbinar.

Satu kelas kembali berisik, bersahutan untuk mengucapkan selamat, kecuali Anjani. Wanita itu hanya memberi senyum paling tulus atas tatapan Abian yang tampak bercahaya ketika bercerita.

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang