07. Ijab Kabul Yang Tak Diharapkan

48 5 0
                                    

Hai! Happy reading. Tell me ya kalau ada typo atau hal-hal rancu di dalam cerita😃🙏

Anjani kehilangan arah. Entah pada siapa ia akan mengadu karena setelah mendengar kabar perceraian kedua orang tuanya, sang ayah benar-benar tak dapat dihubungi sama sekali. Bahkan, hingga hari ini.

"Aku enggak nyangka kalau Teh Atma bakalan cerai sama suaminya."

"Namanya aja manusia, Neng. Kita enggak tahu soal jodoh."

"Tapi katanya, Teh Atma selingkuh duluan, terus minta cerai. Kasihan pisan anak-anaknya."

Mendengar desas-desus tetangga yang duduk di kanan kirinya, Anjani meremas jari. Namun, ia tak lagi peduli dan memilih fokus untuk menguatkan diri karena tubuhnya mulai lemas. Hari ini akan menjadi daftar terkelam sejarah hidupnya.

"An, kamu ke kamar aja. Soalnya badan kamu panas banget. Zaya bisa sama aku." Luna menyorot Anjani dengan ekspresi khawatir. Namun, ia harus mengembuskan napas pasrah ketika sang sahabat menggeleng lemah.

"Aku mau lihat sejauh mana mereka jahat sama aku, Lun," sarkasnya di sela senyuman miris.

Hari ini, Anjani tidak mampu berpikir jernih. Namun, sebatas luka yang pernah ia rasakan, gadis itu menyimpulkan bahwa pernikahan sang ibu dengan Haekal adalah cobaan terberat dalam hidupnya. Bahkan, ia sempat berpikir bahwa perselingkuhan Atma Larasati tidak dianggap berdosa asalkan jangan bersama Haekal.

Wajah pucat Anjani yang menunduk mulai dialiri air mata, memperlengkap riasan sederhana, dan penyempurna luka-lukanya. Lengan kiri ia gunakan untuk menggendong tubuh Zaya sementara tangan kanan berusaha mencari kekuatan pada pergelangan tangan Luna. Cengkeraman itu mengetat ketika acara demi acara nyaris menyentuh puncak.

"Saya terima nikah dan kawinnya Atma Larasati binti Herlambang dengan mas kawin tersebut, tunai."

Seluruh saksi mengembuskan napas lega, kecuali ketidakterimaan atas dosa mereka. Setelah Haekal berhasil melantunkan ijab kabul dengan sekali tarikan napas, dada gadis itu seperti dirampas paksa sebelum menyisakan sakit. Ia menyatukan kelopak mata sangat kuat, menikmati setiap tusukan tumpul pada hatinya tepat setelah kalimat "sah" terdengar dari beberapa orang di ruang tengah ini. Ketika menyorot ke depan, netranya bertemu dengan tatapan abstrak Abian.

Abian seolah menatap kedalaman matanya, terasa menyalurkan rasa sakit sembari membenahi peci yang menutup rambut legam pria itu. Namun, Anjani segera memutus kontak mata untuk beralih pada sang ibu yang kini mengecup punggung tangan Haekal meskipun usia wanita itu beberapa tahun di atas sang suami.

Karena muak dan tak mampu menyaksikan pengkhianatan mereka lebih lama, Anjani beranjak menuju kamar, berusaha mengayun tubuh Zaya yang mulai rewel akibat gerah dan bising sebelum mendarat di tepi ranjang. Hari ini, ia kembali hancur. Luka basah dadanya mulai dipenuhi nanah.

"Zaya Cantik, udah nangisnya. Tidur, yuk ...." Senyuman leganya berusaha terbit ketika Zaya mulai tenang. Kini, bayi itu menggeliat nyaman sembari memainkan kaus kaki lucunya.

"Makan dulu."

Anjani menoleh refleks, menemukan Abian dengan nampan berisi banyak makanan dan minuman. "Luna mana, Mas? Mas aja yang makan duluan. Saya gantian sama Luna."

"Dia di bawah, ngurus ini dan itu. Zaya sama saya dulu." Tatapan teduh pria itu benar-benar menuntut Anjani. "Kalau kamu udah, baru gantian saya."

Akhirnya, Anjani mengangguk lesu, kemudian memindahkan Zaya ke box bayi. Ketika hendak menghampiri Abian, tubuh gadis itu tiba-tiba terasa ringan. Ia seolah tak mampu lagi menopang berat badan karena pandangan yang mulai gelap. Suara nyaring nampan pada genggaman Abian yang terpelanting ke lantai pun tak mampu lagi Anjani dengar.

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang