30. Sukacita Itu Duka

60 3 0
                                    

Berkali-kali Anjani meyakinkan diri bahwa ia hanya berusaha bersikap profesional. Wanita itu pelacur sementara Abian hanya pria hidung belang yang haus belaian. Tak ada pengkhianatan karena mereka tidak sedang selingkuh melainkan hanya bersenang-senang.

Telah sedari setengah jam lalu berada di kamar ini, tapi Abian masih sibuk dengan ponselnya.

"Hallo, Bun ...."

" ...."

Anjani perhatikan, genggaman Abian pada ponsel mengetat. Kelopaknya menyatu kuat di sela tarikan napas yang terdengar berat. "Sebentar lagi Bian ke sana."

"Mas, gimana keadaan Mbak Alanis?" Pertanyaan refleks dari Anjani mulai mengudara setelah pria itu tampak menjauhkan ponselnya dari telinga.

Ia hanya menoleh ke arah Anjani sekilas, kemudian meletakkan ponselnya cepat. "Enggak ada Alanis di sini selain kita berdua. Saya mau kamu profesional." Senyum pria itu mengembang. "Sini, Sayang."

Embusan napas Anjani terasa berat. Wanita itu terpaksa mendekat.

Abian mengarahkan jemari Anjani ke kancing kemejanya. "Buka. Ini tugas kamu."

Karena terpaksa, jemari Anjani bergerak ragu, penuh getaran. Sekali sentakan, wanita itu mundur selangkah. "Mas, tolong berhenti. Aku enggak bisa melayani Mas Bian." Ia menggeleng panik.

"Saya udah bayar kamu sangat mahal." Datar, tapi menyiratkan keseriusan, penyebab wanita itu memaku.

Wajah sembapnya mendongak. "Aku udah bilang kalau Mas Bian enggak berhak atas hidup aku!"

Pria itu terpejam sejenak. Bibirnya bergetar. "Tapi saya berhak atas tubuh kamu," telak Abian.

"Mas Bian!"

Abian mengembuskan napasnya. Netranya nanar. "Kalau gitu, mas bakal nikahi kamu supaya mas berhak atas semua yang ada di diri dan dunia kamu." Singkat, padat, dan jelas.

Anjani menggeleng panik. "Aku pelacur." Ia berucap sengau karena isak tangis yang tertahan. "Kenapa harus aku kalau mas mau poligami?!"

Pria itu kembali memaksa Anjani untuk melepas kancing kemejanya. "Kalau enggak karena kamu, demi Tuhan mas enggak bakal poligami." Rahang Abian mengeras. "Mas cuma mau kamu bahagia."

"Jadi madu enggak akan membuat aku bahagia. Mas Bian harus tahu itu." Jemari Anjani makin bergetar. Ia mulai letih dengan semuanya. "Aku capek, Mas. Dan yang tahu bahagia aku, ya, cuma aku."

"Sampai kapan kamu akan kayak gini?" Ia menunduk, menyaksikan aksi Anjani yang tampak kesulitan mengontrol emosi, jelas dari getaran jemari wanita itu.

"Sampai kami enggak ngerasa kekurangan."

Napas pria itu terhela. "Apa uang adalah segalanya bagi kamu?"

"Enggak semata-mata untuk uang karena aku juga mau balas dendam sama Tuhan."

"Sadar, Anjani." Suara Abian bergetar. Netra pria itu pun mulai merah. "Istighfar ...."

Anjani menggeleng tegas. "Aku enggak pernah segila ini kalau Tuhan baik sama aku, Mas." Sorot mereka beradu. "Untuk saat ini, aku enggak bisa munafik kalau yang aku butuhkan adalah uang dan kepuasan balas dendam." Wanita itu terpejam ketika Abian memeluk raga, memberi kecupan hangat pada dahinya. Jiwa Anjani menjerit bahwa yang mereka lakukan adalah kesalahan.

Abian tiba-tiba meraih ponsel lagi, memutar lagu klasik untuk memperhangat atmosfer mereka sebelum melempar benda pipih itu ke sofa. Ia kembali menyesap harum rambut Anjani dalam kepedihan. Tanda kemerahan di tubuh sang gadis—yang kini tak gadis lagi—adalah tusukan tajam pada dadanya. Malam ini akan menjadi bukti seberapa jauh pria itu ingin Anjani berhenti dan seberapa dalam ia menyayangi.

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang