31. Secuil Bahagia Pada Banyaknya Sisa Kedukaan

127 6 0
                                    

Meskipun hanya sekali berpapasan langsung dengan Alanis, kepergian wanita itu membuat Anjani ikut merasakan sakit karena kehilangan dan rasa bersalah abstrak yang sulit ia jelaskan. Belum lagi sorot sendu Abian yang berusaha untuk kuat ketika menyaksikan sang istri dan sang putri ditimbun tanah.

Ini hari duka mereka. Namun, mengapa harus bertepatan dengan hari di mana seharusnya Anjani bahagia?

Anjani sempat ikut ke pusara sebelum jatuh pingsan karena setibanya di rumah duka, ia panas tinggi.

"Lun—"

"Anjani, kamu udah sadar?!" Wajah panik Luna mendekat. Gadis itu memeriksa seluruh tubuh sang sahabat. "Alhamdulillah. Aku bilang ke Mas Bian—"

"Enggak usah." Refleks, Anjani mencekal pergelangan tangan Luna yang hendak merogoh saku. "Enggak usah, Lun." Wanita itu menggeleng tegas. "Mas Bian sama keluarganya pasti masih sibuk. Jadi, biarin aja. Aku enggak apa-apa. Cuma agak capek aja."

Dengan ekspresi agak kecewa, Luna mengangguk pasrah. "Sekarang, kamu butuh apa? Kamu udah tidur lama banget. Aku bangunin enggak mau."

"Emangnya, sekarang jam berapa?" Netra Anjani berkedip-kedip karena penasaran. Ia memang lelah, tapi tidak merasa telah terlelap selama yang Luna ucapkan.

"Kamu pingsannya kemarin sore dan baru bangun sekarang, jam sembilan pagi."

Tak segera menanggapi, Anjani sibuk menyorot wajah letih Luna sebelum tersenyum lembut. Sang sahabat tampak lelah dan sangat khawatir, padahal ia baik-baik saja. "Kenapa harus ke rumah sakit? Aku enggak sakit, Lun. Cuma pengin tidur aja. Ngantuk."

"Kamu lagi demam, An. Tapi kamu maksa ikut ke pemakaman." Tarikan napas Luna terdengar sesak. "Waktu kamu pingsan, Mas Bian enggak ngebolehin aku bawa kamu pulang. Tapi di rumah duka juga lagi enggak kondusif. Jadi, Mas Bian pengin kamu dirawat aja."

Kini, embusan napas Anjani yang terdengar pasrah. Karena masih ingin istirahat, wanita itu akhirnya kembali menutup mata. Dari sekian banyak luka yang ia dapat, rasanya telah lama sekali wanita itu tidak terlelap setenang tadi malam.

"An, jangan mati."

Netra Anjani refleks membuka lagi. Ia tersentak hebat karena Luna tiba-tiba sesenggukan. "Lun—"

"Pokoknya, aku enggak mau kamu mati. Sebentar lagi kamu bahagia." Isak tangis Luna makin jadi.

"Ngomong apa, sih, Lun? Siapa yang mau mati?" Netra Anjani berputar geram. Jemari bergetarnya mengusap pucuk kepala Luna penuh iba. Baru kali ini sang sahabat mengucapkan kata-kata aneh.

"Mas Bian cerita semuanya ke aku walaupun cuma intinya aja." Luna mengusap wajahnya yang telah basah. "Kamu tahu sendiri, 'kan, kalau kebersamaan kalian adalah mimpi indah aku?"

Kepala Anjani terasa makin hendak pecah. Ia belum mampu berpikir terlalu dalam sehingga agak sulit mencerna ucapan Luna.

"Jadi, aku bahagia banget. Cuma, aku takut kalau ada kedukaan luar biasa di balik kabar bahagia ini." Ia menggeleng pelan. "Aku enggak mau kamu pergi. Apalagi kamu tidurnya lama banget. Kamu enggak tahu gimana khawatirnya aku?" Luna tak jauh berbeda dengan seseorang yang trauma berat.

Kedua lengan Anjani refleks terulur, siap memberi pelukan paling hangat di kehidupan mereka yang selama ini terasa dingin. Cebikan bibirnya tampak sedih, tapi menyiratkan ejekan untuk Luna. "Enggak ada yang bakal ninggalin kamu, Lun. Pun kalau aku pergi, aku janji akan tetap selalu ada di hati kamu."

Sesenggukan Luna makin menggema. "Kalau mau nangis, enggak usah ditahan." Demi Tuhan, Luna jarang sekali melihat Anjani menangis seberat apa pun kehidupan mereka. "Pokoknya, kamu enggak boleh pergi. Titik. Aku bakal bilang sama Tuhan supaya Tuhan cabut nyawa aku duluan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang