28. Malam Itu Memang Gelap

38 3 0
                                    

Banyak hal yang sulit dimengerti orang lain perihal mengapa gadis berprinsip seperti Anjani berubah dalam sekejap. Namun, coba masuk ke hatinya. Setelah itu, dunia akan bungkam dan tidak lagi berani mencaci.

Hari demi hari berlalu, seolah biasa. Sekeras apa pun Luna menghentikannya, hanya sia-sia belaka. Luka wanita itu telah membatu, sama seperti hatinya.

"Belum tidur, Lun?" Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Tak peduli seberapa larut ia kembali, Luna tetap menunggu dalam kelam ruang tamu kontrakan sempit mereka.

"Ke mana bajumu kamu?"

Luna menunduk, memperhatikan tubuhnya. Tak ada lagi yang perlu ditutupi dari sang sahabat. Bahkan, kali ini ia pulang hanya mengenakan bathrobe. Toh, Luna telah mengetahui segalanya. "Baju aku basah."

"Bisa berhenti untuk aku, An?" Suara putus asa itu terdengar parau, setiap malam.

"Kalau bahagia aku sesederhana keburukan dari dosa dan rumah ternyaman aku sekotor tempat pelacuran, apa kamu masih tega meminta aku untuk berhenti, Lun?" Ia tersenyum lembut. "Aku udah capek, sampai titik di mana aku ngerasa bahagia meskipun yang aku jalani adalah penderitaan "

Luna menggeleng letih. "Jangan perdalam luka kamu dengan cara kayak gini, tolong."

Mendengar itu, Anjani ingin menjerit bahwa ia tak akan bertindak sejauh ini jika Tuhan tak merampas segalanya. Bertahun-tahun wanita itu berusaha hingga ujungnya tetap sama sebelum memilih hancur dengan cara sendiri. Ayah kandung wanita itu tak bertanggung jawab, meninggalkannya dan sang ibu sedari usia dua tahun sebelum sang ibu menikah dengan Brian—ayah kasar Anjani. Kemudian, sang ibu selingkuh. Jelas bahwa yang ia butuhkan hanya rumah.

"Boleh aku minta satu hal dari kamu, Lun?"

Punggung Luna yang mulai meninggalkan Anjani kembali berbalik.

"Sekotor apa pun aku, tolong jangan pernah tinggalin aku."

***

Setiap malam—tepat ketika taksi pribadinya melesat di jalanan tenang karena dini hari—Anjani kerap berandai-andai perihal kapan air mata wanita itu surut agar tidak ada lagi isak tangis dalam hidup.

Semenapaknya di ruang tamu, Anjani mengembuskan napas lagi. Pagi ini juga berujung dengan perdebatan panjang karena Luna tidak akan membiarkannya lolos untuk segera istirahat di kamar. Tak ingin pemikiran wanita itu benar-benar terwujud, ia mengabaikan sang sahabat sebelum berdesis sakit karena Luna mencengkeram lengannya yang lebam.

"Leher kamu ...." Dengan jemari bergetar, ia menyentuh luka pada leher Anjani sebelum mendapat tepisan dan desisan.

Wanita itu menggeleng. "Bukan apa-apa."

Jemari Luna refleks terkepal kuat, berusaha mengontrol emosi. "Ini, ini, ini, dan ini! Anjani ...." Sesenggukan gadis itu tak terbendung lagi. Sampai kapan ia mampu melihat pemandangan sedemikian pedih setiap malamnya? "An, kamu enggak pantas diperlakukan kayak gini."

"Udah risiko karena enggak semua pria keparat itu bisa memperlakukan aku dengan lembut." Ia tersenyum miris. "Dan sahabat kayak aku, enggak pantas kamu tangisi."

Luna mencengkeram bahu Anjani makin erat. Sorotnya penuh mohon dan putus asa. "Aku terluka, An. Aku gagal jadi rumah kamu. Bahkan, kamu hamil aja aku enggak tau!"

"Kalau soal itu, aku udah berusaha untuk ikhlas dan enggak perlu dibahas." Anjani tersenyum simpul, kemudian mendarat pada kursi ruang tamu, berusaha mengurai lelahnya.

Luna mengusap pipi basahnya. "Apa kamu bahagia dengan cara kamu yang kayak gini?"

"Bahagia aku sederhana, Lun. Sesederhana apa yang aku geluti meskipun ini dosa besar." Ia menjawab santai, kemudian menenggak air mineral di meja.

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang