14. Aku Seorang Anak

40 7 0
                                    

Anjani mengembuskan napas berat setelah mengetahui nominal tabungan mereka. "Enggak cukup, Lun." Gadis itu kembali memasukkan uang ke dompet. "Padahal, besok batas terakhir dispensasi bayar kuliah."

Luna menyentuh punggung tangan Anjani sebelum mengembangkan senyum. "Aku tahu kamu bakalan nolak. Tapi kalau kayak gini terus, kita enggak akan bisa bayar kuliah, An."

Penuh semangat, gadis itu menggeleng cepat. "Tapi kamu tenang aja. Besok, aku akan coba pinjam uang ke Pak Chakra." Sekalut-kalutnya Anjani, gadis itu akan berusaha baik-baik saja di hadapan Luna. Ia ingin Luna bahagia dan sempurna mengurus Zaya selain fokus kuliah. Alih-alih menemukan bahagia, yang tampak adalah kesedihan. Memperhatikan wajah lesu Luna, Anjani tersenyum lembut. Ia menarik sang sahabat ke dekapan.

"Emang kamu enggak takut kalau sewaktu-waktu Pak Chakra nagih uang yang kita pinjam?" Luna ragu. Jangankan untuk membayar utang, untuk makan pun pas-pasan. Mereka tak memiliki apa pun lagi selain uang yang baru saja Anjani masukkan ke dompet.

Anjani menggeleng. "Itu urusan aku. Buktinya, walaupun enggak punya rumah lagi, kita masih bisa napas sampai detik ini."

Lebih dari dua bulan lalu, Anjani tidak lagi kerja paruh waktu di toko kue karena uang yang didapat benar-benar tidak dapat menutupi kebutuhan mereka. Itu sebabnya ia mencari pekerjaan lain, yaitu sebagai ART di rumah pengusaha kaya raya. Namun, yang membuat gadis itu bersyukur adalah waktu bekerjanya dimulai pada jam tujuh malam sampai selesai.

"Kamu mau nyerah gitu aja?" Anjani menggeleng tidak setuju. "Bahkan, sampai titik darah penghabisan, aku enggak akan berhenti kuliah, Lun." Ia tersenyum miris, mengabaikan keterkejutan Luna sembari mengulas memori lampau.

Banyak faktor yang menyebabkan Anjani memutuskan untuk mempertahankan pendidikan mereka, salah satunya masa lalu buruk gadis itu.

Luna memaku, menyelisik netra tegas Anjani ketika berucap.

"Atma Larasati, memilih bertahan dengan Brian Pramana karena aku. Dia takut enggak bisa menghidupi aku kalau cerai dari papa." Satu bulir air matanya mengucur. "Kalau harga diri yang orang lihat adalah pendidikan, aku bersumpah akan meraih itu supaya enggak diperlakukan semena-mena."

Bagi Luna, Anjani benar. Dulu Anjani kerap mengadu betapa hancur perasaannya ketika menyaksikan sang ibu direndahkan. Namun, di sisi lain, kini ia pun bingung karena keadaan.

"Mungkin aku terlalu berambisi soal ini." Anjani menghela napas. "Tapi enggak akan ada asap kalau enggak ada api. Semua masa lalu aku yang berisi ketidakberdayaan perempuan, membuat aku sakit."

Menahan tusukan kecil pada hatinya, Luna menggigit bibir. Ia mengerti. Bahkan, gadis itu sempat berpikir masih lebih bahagia dirinya yang hanya hidup berdua dengan sang nenek dibandingkan Anjani. Keluarga sang sahabat lengkap, tapi menyebabkan cacat jiwa.

"Kamu tahu sendiri kalau keluarga aku utuh dan sempurna. Apa pun yang aku mau, selalu mereka kasih." Gadis itu menunjuk dadanya. "Tapi di sini, aku cacat." Ia menarik napas karena sesak mulai merajai. "Bahkan, sampai sekarang, aku enggak pernah tahu pagi indah itu yang kayak gimana."

"Udah, An. Aku enggak ku—"

"Istri anjing, istri lonte, anak anjing ...." Gumaman gadis itu memeriahkan hawa siang ini. "Rumah aku megah, tapi isinya lapuk. Papa semena-mena sementara mama enggak berdaya dan enggak ada pilihan lain selain bertahan karena dia enggak berpendidikan tinggi."

Luna mengangguk.

"Mama aku enggak punya power, Lun."

Lagi-lagi Luna hanya mampu terdiam.

"Itu alasan kenapa kita harus berpendidikan." Tatapan Anjani kosong. "Aku enggak mau anak kita ngerasain apa yang aku rasain ketika menjadi seorang anak." Gadis itu menarik napas. "Percayalah, Lun. Sesederhana aku yang jadi enggak suka sama pagi hari, itu adalah hal paling cacat dalam hidup aku."

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang