Tidak banyak yang mampu manusia pikirkan ketika hidupnya telah terjebak dalam kebodohan. Tidak banyak pula sesal yang dapat mereka rasakan selain kepuasan duniawi, penyebab insan makin menerima kehancuran. Ini hidup mereka—jiwa-jiwa yang kecewa pada keadaan. Malam terasa dingin, tapi wanita itu mengenakan pakaian minim. Entah berapa banyak pula kadar alkohol yang berusaha membasahi kerongkongannya untuk sekadar "lupa".
Anjani nyaris menyandarkan punggung pada punggung sofa, tapi wanita matang dengan lipstik merah merona lebih dulu menepuk pundaknya. "Mami ...."
"Lenka, kamu lagi kosong, 'kan?" Wanita yang sering mereka sebut sebagai mucikari cantik itu berbisik, kemudian tersenyum ketika Anjani mengangguk. "Untung kamu datang malam ini. Soalnya, ada tamu kaya raya."
Wanita itu tidak terkejut sama sekali. Pasalnya, memang hanya pria kaya yang mampu menyewa pelacur-pelacur milik Mami Anjela. "Teman Mami?" Anjani memijat pelipisnya karena berdenyut.
Wanita yang dipanggil Mami Anjela itu menggeleng. "Bukan. Kayaknya, sih, dari luar kota yang mendadak butuh hiburan. Langsung kamu temui aja, deh." Netranya berkedip menggoda. "Kamar 204, Darling."
Tak ingin menunggu lama, Anjani beranjak, menyampirkan tas hitam pada bahunya. Stiletto tinggi wanita itu menggema, menyebarkan aura mahal dan memesona. Setibanya di depan pintu kamar, ia mengubah ekspresi datar agar menjadi nakal. Setelah menemukan raga kukuh yang kini berdiri memunggunginya, Anjani merasa ciut. Baru kali ini pria yang ingin dilayani tidak berbalik ketika aroma menggodanya datang.
Wanita itu mendekat perlahan. "Mau mulai sekarang, Sayang?" Perlahan, ia melucuti helai pada tubuh, menyisakan lingerie merah menyala. Tanpa aba dan kata, lengannya melingkari tubuh pria itu.
"Meskipun belum lihat wajah kamu, saya udah bisa memastikan kalau kamu sangat cantik." Pria itu terkekeh penuh wibawa.
Anjani sempat tersentak sebelum menggeleng kuat. Meskipun suara itu amat familier, tentu saja pria ini bukan sosok yang tengah ia hindari. "Jadi, tunggu apa lagi? Semua yang ada di diri aku akan jadi milik kamu malam ini."
Udara mulai histeris karena kepedihan.
Wanita itu tersenyum lega karena pria yang ia peluk mulai berbalik perlahan setelah memberi kecupan pada punggung tangannya. Namun, ketika sosok itu menunjukkan rupa, jantungnya terempas. Pria yang sedari tadi ia rayu sedemikian hina adalah Abian Askhara. Anjani tergagap. "Ma-Mas—"
"Saya bukan mas kamu." Senyuman miringnya terkembang, tampak sangat puas dengan kebekuan Anjani malam ini. "Bahkan, saya enggak pernah kenal sama kamu sebelumnya, Len-ka." Pria itu berucap penuh penekanan. Aura tampannya tampak santai, berkarisma, dan menawan.
Bukankah ini yang Anjani inginkan? Mereka menjadi asing dan tak saling kenal. Jadi, apakah salah jika Abian tiba-tiba mendatangi wanita itu layaknya pria haus belaian?
Anjani menelan saliva yang terasa sekeras batu sebelum mengangkat wajahnya angkuh, menahan getaran pada tubuh. Giginya beradu, antara malu dan geram. Namun, senyuman terpaksanya mulai terkembang.
"Sepertinya, membuka pakaian yang ada di tubuh saya juga akan jadi tugas kamu." Seringaian nakal itu makin mengembang ketika Abian berhasil mengecup punggung tangan Anjani penuh kelembutan. "Jangan macam-macam sama saya karena saya udah bayar kamu sangat mahal."
Kepala Anjani hendak pecah mendengarnya. Tubuh wanita itu makin kaku sebelum berusaha berpaling ke arah ranjang untuk melepas kontak mata. Andai Abian tidak membayarnya sangat mahal, demi Tuhan, wanita itu akan meninggalkan ruangan ini karena merasa malu dan rendah diri.
Menahan sakit pada dadanya, Anjani mendongak angkuh lagi sebelum menyampirkan lengan pada bahu pria itu. Bibir merah meronanya mengembang. "Tentu aja. Kamu boleh menyentuh tubuh aku sepuasnya." Netranya mengerling nakal. "Aku juga akan menuruti semua yang kamu mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...