10. Sedikit Sendu, Tapi Menyenangkan

39 8 0
                                    

Anak bukan tanaman yang hanya perlu disiram dan dipupuk, kemudian tumbuh besar. Pun tak seluruh orang tua mengerti bahwa ego mereka yang terkadang sangat tinggi akan menyebabkan banyak luka dan trauma bagi putra putri. Jadi, lebih baik kau memutuskan untuk tidak memiliki keturunan daripada buah hatimu menderita. Itu prinsip Anjani setelah memperhatikan lengannya yang tidak semulus dulu. Dan seluruh penderitaan atau luka fisik serta jiwanya tercipta karena kecacatan keluarga.

Di saat orang asing dapat memberimu rumah, tapi mengapa darah dagingmu—keluarga—sampai hati menjadi sosok yang pantas dianggap keji? Tidak masuk akal!

"Di pemakaman enggak boleh melamun."

Gadis itu terkesiap, terburu-buru membenahi bajunya untuk mengalihkan canggung. "Enggak melamun."

"Bohong."

Tanpa sadar, senyum tulus Anjani terbit. "Agak ngantuk. Soalnya Mas Bian dari tadi diam aja, enggak ngomong apa-apa." Ia mendengar kekehan pria itu dan penasaran sehingga refleks memperhatikan wajah sang empunya.

Peci yang menutupi sebagian dahi Abian dan melekatnya selendang indah pada pucuk kepala Anjani senja ini melambaikan kesenduan, berlebih ketika mereka menaburi bunga di atas pusara bertuliskan Hany Askhari. Kemudian, Surah Yasin mulai dilangitkan yang dipimpin oleh suara merdu sosok paling maskulin—Abian.

Anjani tidak tahu apa yang pria itu pikirkan. Namun, setelah mereka selesai melantunkan doa-doa, Abian tampak sangat terpukul. Guratnya seperti kertas kusut.

"Hany, dua minggu lagi, mas ke Dubai karena dipindahtugaskan oleh ayah." Pria itu menarik napas, terdengar sesak. "Mas enggak bisa ke sini sebelum semuanya selesai. Mas juga akan jarang nelepon bunda." Abian kembali bisu.

Anjani meremas jarinya, berusaha mengusir sedih. Ia melirik pria itu melalui ekor mata sebelum membasahi bibir karena gugup. "Hany, aku Anjani, teman Mas Bian."

Suara lirih Anjani berhasil membuat Abian berpaling dari pusara sang adik. "Kamu enggak lagi interview pekerjaan, Anjani." Abian terkekeh, kemudian beralih lagi pada pusara. "Mas enggak ada niat untuk menduakan kamu. Tapi ketemu Anjani, ternyata sama menyebalkannya dengan kamu."

"Mas Bian," gumam Anjani, penuh penekanan. "Omong-omong, Mas pintar ngaji, ya?"

"Cuma bisa sedikit-sedikit. Enggak pintar."

"Suara Mas Bian bagus. Dengar suara Mas, saya ngerasa tenang." Begitulah Anjani. Ia tidak segan memuji orang lain yang menurut gadis itu pantas.

Pria itu tersenyum. "Lain kali, saya akan bersholawat untuk kamu."

Entah mengapa, Anjani mengangguk semangat. Ia berharap Abian sungguh-sungguh.

Pria itu beranjak. "Udah, ya, Han? Mas pulang. Assalamualaikum."

Dua insan yang amat sempurna jika diperhatikan melalui siluet mulai beriringan, melewati jalan setapak. Tak jarang Anjani membenahi selendang di kepalanya yang meluncur ke bahu sementara Abian terus memperhatikan langkah gadis itu karena tampak terseok.

"Mas cuma dua bersaudara, ya? Sama kayak saya?" Anjani meraih selendang di kepala, kemudian memasukkan benda tipis itu ke tas setibanya di mobil.

Tak segera menjawab, Abian beralih terkekeh. "Anjani, kamu enggak ngerasa aneh?"

"Saya lapar, Mas." Gadis itu menjawab dengan ekspresi polos, memindahkan tasnya ke jok belakang.

Tawa Abian hendak menyembur, tapi tertelan di kerongkongan karena takut Anjani kesal. Pasalnya, orang lapar bisa saja berubah sensitif.

"Nanti mampir di rumah makan Padang, ya? Mau, 'kan?"

Anjani mengangguk polos, lagi dan lagi. "Boleh. Tiba-tiba saya pengin rendang."

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang