Setelah perdebatan ia dengan Abian beberapa hari lalu, pria itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya di universitas. Bahkan, ketika jam mengajar pun, Abian hanya meninggalkan tugas pada ketua kelas. Itu sebabnya Anjani merasa penasaran dan kebetulan siang ini ia memiliki jadwal mingguan untuk periksa kesehatan.
Tungkainya tanpa sadar melewati lorong, membawa tubuh lemas itu ke tempat yang pernah ia kunjungi tanpa sengaja. Namun, beberapa langkah setelah berbelok, Anjani dikejutkan dengan eksistensi Abian yang tampak gelisah sembari menelepon seseorang.
"Kondisi Alanis makin buruk, Ma. Ia kritis."
Jantung Anjani berdetak kencang. Karena refleks, telapak tangannya menyentuh dada.
"Bian minta doa-nya untuk Alanis dan calon anak kami. Semoga keduanya baik-baik aja." Pria itu tampak mengusap pipi sebelum berlalu. Namun, Anjani kembali dikejutkan ketika Abian tiba-tiba berbalik dan menemukan kebekuannya. "Anjani ...."
Wanita itu kaku. Bibir dan lidahnya terasa kelu. "Mas Bian ...." Ucapan menggantung Anjani makin menggantung karena ia berusaha berlari, menghindari pria itu. Namun, tetap lari Abian yang lebih cepat, menyebabkan lengannya tersentak ke belakang.
Air wajah pria itu tampak makin kusut, berlebih setelah menyelisik seluruh tubuh Anjani. "Anjani, kamu sakit?"
Anjani menggeleng. "Enggak, Mas. Cuma periksa aja dan kebetulan lewat—"
"Tapi badan kamu panas kayak gini. Dada kamu kena ...." Ucapan pria itu menggantung karena merasa tidak enak. Namun, merah dan lebam pada tulang dada bagian atas Anjani membuatnya makin merasa ada yang janggal.
Setelah sadar, Anjani menutup kancing kemejanya yang sempat terbuka karena periksa beberapa menit lalu. "E-enggak kenapa-kenapa, Mas." Ia menyengir kuda, menyembunyikan rasa panik. "Mas Bian enggak lupa, 'kan, kalau aku udah punya—"
"Lain kali, tolong pertemukan mas sama suami kamu." Singkat, padat, dan jelas, mampu menyebabkan dunia Anjani seolah runtuh.
Suami mana yang Abian maksud?
Wanita itu menggeleng tegas. "Enggak perlu. Mas enggak perlu kenal sama suami aku."
Rahang Abian mulai mengeras. Sedikit banyak pria itu tahu bahwa ada yang tidak beres dengan rumah tangga Anjani. Bahkan, ia tak sekali pun melihat suami wanita itu mengantar atau menjemput sang istri. Yang ia temukan hanya jejak-jejak KDRT, menyebabkan gelisah.
Netra pria itu menyatu sebelum menyentak lengan Anjani, kemudian menggulung paksa lengan kemeja wanita itu penuh gesa. Sesuai praduganya, ada beberapa lebam yang berusaha Anjani tutupi. "Mas juga seorang suami, Anjani." Ia menarik napas gusar. "Tapi mas enggak kayak suami kamu!" Emosinya tak terbendung lagi.
Anjani akan tetap menjadi Anjani yang tertutup. Itu sebabnya ia berusaha menampik ucapan Abian dengan gelengan santai. "Mas, jangan salah paham."
"Salah paham?" Netranya mulai merah. "Lebam sama luka-luka di tubuh kamu udah enggak wajar. Kamu mau alasan apa lagi sama mas, Anjani?"
"Ini bukan apa-apa, Mas. Cuma lebam biasa karena kebentur meja." Tentu saja wanita itu berbohong. Namun, ia bukan kadal dan Abian cukup dewasa untuk sekadar paham.
"Kalau begitu, ikut mas ke ruang visum."
Tungkai Anjani refleks mundur. Kepalanya menggeleng pelan setelah menyentak cekalan Abian. "Enggak, Mas."
Bibir pria itu terangkat sebelah. Praduganya mulai terbukti benar. "Kalau enggak ada apa-apa, enggak seharusnya kamu takut kalau mas ajak visum."
Satu bulir air mata Anjani luruh akibat kesal dan lelah yang bercampur. Sebenarnya, ia tak mampu menahan apa pun lagi. "Aku cuma enggak mau Mas Bian terlalu ikut campur sama hidup aku. Itu aja." Bagi Anjani, kisah mereka berakhir dan cukup saling kenal seperlunya.
![](https://img.wattpad.com/cover/342582397-288-k982379.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Romansa⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...