Dengan segala pertimbangan, Anjani memutuskan pindah dari tempat tinggal lama mereka. Ia tak ingin dihantui bayang-bayang Chakra jika suatu saat nanti pria itu bertandang ke kediamannya. Mereka telah selesai dan Anjani akan menutup seluruh lembar kelam yang memabukkan bersama pria itu. Biarkan janin di perutnya yang tersisa sebagai tuai paling indah di dalam sejarah luka.
"Lun, kamu enggak pernah cerita soal percintaan. Memangnya, enggak ada satu pun pria yang berusaha dekat sama kamu di kampus?" Anjani menggeser kursi ruang tamu, menata sesuai keinginan agar tampak lebih rapi meskipun dahinya telah penuh dengan peluh. Jika sebelumnya tinggal di rumah kecil, kali ini mereka mendapatkan tempat yang lebih luas dengan harga sama.
"Kamu ngomong apa tadi, An?" Luna hanya melirik sekilas.
"Kamu enggak pernah cerita soal percintaan. Memangnya, enggak ada yang berusaha dekat sama kamu di kampus?" Ia kembali bertanya, kali ini berusaha menggeser meja, tak menyadari Luna yang tiba-tiba sangat bisu. Mereka selalu berbagi satu sama lain, kecuali perihal cinta. Toh, Anjani tidak mungkin memberitahu Luna bahwa dirinya tengah menjalin hubungan dengan suami orang saat itu.
"Enggak ada, An." Gadis itu tersenyum pada akhirnya. "Belum mikir ke sana. Lihat hukum di Indonesia aja aku bisa pusing tujuh keliling. Apa kabar mental aku kalau harus punya pacar juga?"
Mendengar penjelasan sang sahabat, netra Anjani menyipit sebelah. "Memangnya, kamu enggak ngerasa kesepian?" Wanita itu mendekat, kemudian sengaja menyolek pipi Luna yang penuh dengan keringat, sontak menyebabkan mereka terkekeh bersama.
"Hidup sama kamu udah cukup, An. Kalau mau cari pasangan, sih, gampang aja." Gadis itu mengedikkan bahu, memasang wajah angkuh. "Kalau udah jodoh, pasti juga ketemu. Sejauh ini, hidup sama kamu udah bisa membuat aku bahagia."
Dada Anjani tiba-tiba berdesir. Ia tahu Luna memang selalu tulus. "Kamu enggak pernah penasaran soal orang tua kamu?" Perlahan, wanita itu ikut bersimpuh di lantai. Ia menyelisik sorot Luna yang tampak santai.
Gadis itu menggeleng. "Hidup sama kamu udah cukup buat aku bahagia. Aku enggak mau mencari hal-hal yang berpeluang nyakitin aku."
Air mata Anjani mulai tergenang. Ia kerap mendapatkan jawaban yang sama dari Luna bahwa gadis itu tak ingin muluk-muluk dan persahabatan mereka lebih dari cukup untuk bahagia. Rasa bersalah tiba-tiba meluap karena ia sering meninggalkan sang sahabat sendirian setelah lukanya kehilangan Zaya.
"Kalau kita dapat pengganti Zaya, apa kamu lebih bahagia?" Jemarinya meremas baju bagian depan. Bibirnya berucap tiba-tiba.
Luna terkekeh. "Enggak ada yang bisa menggantikan Zaya kita, kecuali darah daging aku atau kamu." Ia makin mendekat, kemudian memberi pelukan hangat untuk sang sahabat yang tampak sedih. "Kamu harus tahu kalau aku akan selalu sama kamu."
Satu bulir air mata Anjani menyentuh pipi. Aku hamil dan enggak tahu harus ngasih tahu kamu dari mana.
"Pak Chakra benar-benar udah enggak bisa ngasih kerjaan ke kamu, ya?" Bibir gadis itu mengerucut, tepat ketika Anjani menggeleng.
Alasan Anjani mengajak Luna pindah adalah bayangannya tentang Zaya dan Chakra yang tidak lagi mempekerjakan wanita itu. Meskipun Anjani tidak memiliki rencana yang pasti perihal pekerjaan dan kehamilannya, tapi wanita itu sempat berpikir bahwa ia akan mengambil cuti kuliah serta memutuskan untuk mencari pekerjaan ringan. Peduli setan dengan omongan tetangga. Ketika ia hancur oleh hidup, adakah yang sudi memberi uluran tangan selain mencemooh?
"Ya, udah, besok kita cari kerja sama-sama, ya?" Luna mengusap pipi Anjani. Ia mengembuskan napas lega karena sang sahabat mengangguk.
Andai Anjani tidak sedang hamil, ia tak akan mengizinkan Luna ikut mencari uang. Namun, kali ini wanita itu tidak yakin mampu bekerja sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...