Hi, welcome to my story. Be nice each other, ya🙌
Wanita itu perempuan, penggenggam peradaban karena dari rahimnya akan lahir anak-anak cerdas dan berkemampuan. Namun, mereka rentan dan riskan. Sering diremehkan karena rendahnya pendidikan. Dituntut memenuhi kewajiban yang diagung-agungkan sebagai kodrat perempuan.
Ketidakmampuan dalam peran ganda, memvonis mereka layaknya seseorang yang paling bersalah. Mereka berhak dilindungi, tapi tak sedikit mendapatkan kekerasan fisik dan verbal. Mulia dan diistimewakan, tapi tak jarang dianggap paling hina.
"Istri anjing, bisanya cuma ngangkang!"
"Kok hari ini kamu pulangnya cepat, Mas?" Atma berlarian ke dapur karena mendengar suara sang suami yang samar-samar. Sembari membenahi kancing kemejanya karena baru saja menidurkan sang putri, ia mengikat rambut ke atas sebelum menemukan meja makan yang telah berantakan.
"Pulang cepat, salah! Pulang lambat, salah!" Pria itu makin murka. Matanya memerah akibat emosi. Dengan ekspresi geram, ia menunjuk wajah pucat Atma. "Kamu serius enggak masak apa-apa? Istri lonte!"
Atma tersentak sembari meremas jari. Tubuhnya refleks bergetar. "Mas, anak kita lagi demam. Aku enggak bisa ninggalin dia karena rewel terus. Biasanya kamu pulang jam lima sore. Jadi, aku kira—"
"Kamu enggak ngerti, ya, sama yang namanya tanggung jawab?! Mana Anjani?!" Pria itu menendang tudung saji di dekat kakinya sehingga terpental makin jauh dari mereka. "Mana uang belanja yang aku kasih?!"
"A-ada, Mas." Atma merogoh saku dengan tangan bergetar sebelum tersentak lagi karena mendengar gebrakan meja. "Anjani masih les, Mas."
"Jangan-jangan, uang belanja yang aku kasih, kamu buat foya-foya!" Pria itu mengusap wajah, tapi emosinya masih tidak surut. "Terus, kalau kayak gini, kamu mau aku makan batu?! Punya istri, tapi enggak guna!"
Wanita itu mendekati sang suami. Ia tak mampu lagi menahan isak tangis. "Kamu bisa enggak, sih, kalau ngomong enggak usah teriak-teriak? Kalau orang dengar, malu, Mas."
Pria itu memasukkan tangan ke saku sembari mengembuskan napas. "Aku heran sama kamu! Dikasih uang belanja berapa aja, selalu habis. Lima puluh ribu, habis! Seratus ribu, juga enggak sisa! Masak juga cuma itu-itu aja!"
"Kamu bisa hitung sendiri apa yang aku beli, Mas." Atma sesenggukan sembari menggeleng tidak percaya dengan setiap ucapan yang keluar dari mulut sang suami. "Saat kamu ngasih uang lebih, minyak goreng sama gas juga habis." Ia mengusap pipi. "Mana mungkin aku makan uang kamu untuk keperluan lain tanpa izin kamu. Aku juga udah hemat-hemat."
Rahang pria itu mengencang. "Aku enggak pernah minta kamu kerja supaya kamu bisa fokus sama rumah, tapi masak aja enggak becus!" Emosi pria itu kembali menunjuk wajah Atma. "Kamu bisa enggak kerja kayak aku?!" Pria itu menggebrak meja lagi. "Enggak bisa, 'kan? Ngatur keuangan, apalagi! Kamu itu goblok, bisanya cuma ngurus anak!"
"Mas, kamu enggak boleh ngomong gitu. Mencari nafkah memang udah kewajiban kamu sebagai suami dan ayah!" Air mata Atma makin deras membasahi pipi ketika sang suami berlalu, meninggalkan rasa sakitnya.
"Anjing! Punya istri bisanya cuma ngangkang! Lonte-lonte ...." Pria itu menendang apa pun yang menghalangi langkahnya. "Bilang sama Anjani, enggak usah keluyuran! Mau jadi lonte?! Kalau dia rusak, aku bunuh kamu!"
Wanita itu terduduk di lantai sembari meremas baju bagian depan dadanya. Sakit. Entah berapa banyak bulir air mata yang berusaha ia usap setiap hari karena cacian, makian, hinaan dan ucapan kasar lainnya dari sang suami. Ya, termasuk hari ini.
Mungkin, kalau bukan karena anak, telah sedari lama Atma menyerah dan pergi. Namun, wanita itu sadar bahwa anaknya membutuhkan kebahagiaan dan ia bukan sosok berpendidikan yang mampu menjamin kehidupan sang putri seorang diri.
Apa yang dapat diandalkan dari dirinya? Ia hanya lulusan SD, tak memiliki sanak saudara—dibesarkan di panti, janda beranak satu, dan segala sesuatu bergantung pada suami yang selalu semena-mena. Wanita itu perempuan, tapi tak berdaya. Itu sebabnya ia tak ingin penderitaan dan label wanita tidak berpendidikan menurun pada sang putri.
"Ma ...."
Atma menoleh ke sumber suara. "Udah pulang?" Wajah wanita itu panik ketika menemukan sang putri yang berdiri di ambang pintu.
Anjani mengangguk. "Udah dari tadi, Ma."
Atma beranjak dan mendekat dengan ekspresi makin panik setelah menyelisik keadaan sang putri. Wajah putrinya pucat dan kotor. Seragam gadis itu juga lusuh dan kusut. Ada beberapa bercak darah di rok bagian depan sang empunya. "Ya, Allah ... kamu kenapa, Sayang?"
Senyuman gadis itu terkembang, tampak dipaksakan. "Enggak apa-apa." Padahal, sorot yang biasanya cerah, hari ini tampak sayu dan kosong. "Tadi diserempet motor. Tapi udah enggak apa-apa." Sosok itu berlalu, tak memedulikan panggilan sang ibu.
Atma Larasati lupa bahwa alasan untuk bertahan dengan suami kasarnya, akan menjadikan sang putri sebagai korban. Percayalah, ketidaksempurnaan yang bertameng sempurna karena utuh, adalah rumah paling salah bagi keturunan.
Thank you ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...