04. Ia Hanya Korban

51 4 0
                                    

Jangan lupa follow, share, vote, and comment😉

Beberapa hari bersembunyi di apartemen Abian, gadis itu harus kembali menghadapi rasa sakitnya.

Anjani membuka tirai jendela kamar, mencari tahu siapa yang baru saja memarkirkan mobil di pekarangan rumah. Beberapa saat lalu, ia sempat lupa atas luka yang diderita sebelum kenyataan kembali menghancurkan seluruh jiwanya.

Makin hari, sang ibu makin terang-terangan berselingkuh dengan Haekal. Bahkan, kedua insan menjijikan yang tengah dimabuk cinta itu seolah tak memiliki rasa malu. Namun, sesakit apa pun luka yang ia tanggung, gadis itu belum mampu memberitahu sang ayah.

Ia mengusap air mata yang entah sedari kapan telah membasahi pipi ketika ponsel di kasur berdering. Senyuman cerah bercampur luka perlahan terbit setelah tahu pria itu adalah sang ayah, sosok yang telah lama tidak menghubunginya.

"P-Pa ...."

"Anjani, ke mana aja kamu?! Ditelepon kok enggak angkat!"

Anjani tersentak hebat karena dibentak. "Anjani enggak dengar, Pa. Ma—"

"Buang aja hp kamu daripada enggak guna. Tolol!"

Gadis itu meremas ujung bajunya meskipun telah terbiasa mendengar suara tinggi sang ayah. "Pa, apa kabar?"

"Kamu enggak usah banyak tanya! Baik-baik aja atau enggak, kamu juga enggak akan ngerti!"

Dengan perasaan sesak, Anjani menggigit bibir. Air matanya telah menggenang, siap membasahi pipi. Tidak bisakah sang ayah berucap lembut? Kini, ia benar-benar tidak memiliki rumah.

Gadis itu menarik napas, masih menggigit bibirnya. "Papa sibuk banget, ya?" Tak segera mendapat jawaban, Anjani hanya mendengar tarikan napas berat ayahnya.

"Harus berapa kali aku bilang kalau kamu enggak usah ikut campur urusan orang tua. Kamu enggak akan ngerti! Bisanya cuma minta uang! Sekolah aja yang benar."

"Memangnya Papa enggak bisa ngomong lembut sama Anjani dan mama?"

"Anjing! Kamu enggak usah sok ngajari orang tua! Punya anak, tapi kayak babi."

Gadis itu menggigit bibir sebelum mengangguk berat sembari menahan tangis. Setiap kalimat kasar yang terucap dari bibir ayahnya bagaikan lampu merah untuk tidak memberitahu perselingkuhan sang ibu.

"Di mana mama kamu yang bodoh itu?! Kalau ditelepon enggak angkat, buang aja hp kalian! Enggak guna!" Pria itu terdengar mengembuskan napas. "Zaya?"

Anjani refleks meremas ujung bajunya lagi. Pipi gadis itu mulai basah. Ia ingin sekali memekik bahwa sang ibu sedang dimabuk cinta dan perbuatan mereka semua membuat kehidupannya terasa seperti di neraka. "Zaya udah tidur. Mama ... di bawah."

"Kasih hp ke mama kamu!"

Gadis itu kaku. Namun, permintaan sang ayah membuat Anjani sudi tak sudi harus menuruni anak tangga sebelum menemukan pemandangan sore ini yang kembali memupuk rasa bencinya. Adakah yang lebih menyakitkan selain pengkhianatan oleh orang terpercaya dalam hidupmu? Bagaimana tidak! Dua pendosa itu sedang bermesraan, berbagi tawa dan sentuhan penuh romansa.

Menjijikan!

"Aku senang kamu bisa senyum secerah ini, Ma."

"Aku senyum juga karena kamu. Makasih untuk semuanya, Hae."

Anjani meneguk liur ketika mendengar obrolan sang ibu dengan Haekal. Tak ingin sang ayah mendengar perselingkuhan di rumah ini lebih jauh yang berakhir membuat pria itu murka, ia terpaksa bersuara. "M-Ma, papa mau ngomong."

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang