Selama ini, Anjani tahu bahwa satu-satunya sosok yang menyayangi gadis itu dengan lembut hanya Atma Larasati—sang ibu. Bahkan, wanita itu seolah mampu memberinya dunia hingga seluruh kepercayaan hidup ia limpahkan tanpa ragu. Namun, Anjani lupa bahwa manusia tidak ada yang sempurna. Ia pun bukan malaikat yang tak akan membenci selain mencatat jika manusia bersalah.
Lonte! Bisanya cuma ngangkang!
Apakah pertunjukan di senja menjijikan ini adalah seluruh jawaban atas pertanyaan mengapa sang ibu pantas dipandang hina?
Entah sedalam apa lukanya. Namun, bagi Anjani, mulai senja ini, sang ibu telah mati.
Lengan bergetar Anjani berusaha menekan sakelar lampu ruang tamu karena sedari tadi hanya mengandalkan terang dari ruang televisi yang hina. "Hebat." Ia tersenyum miris, penuh kekecewaan setelah meminta Abian menurunkan lengan pria itu yang berusaha menutup matanya.
Dua sosok di hadapan Anjani tampak panik dan tergesa-gesa mengenakan pakaian mereka. "Anjani ...." Suara wanita yang gadis itu panggil "mama" terdengar bergetar dan pilu.
Namun, Anjani muak. "Jangan sebut nama aku." Perlahan, gadis itu melangkah mundur sembari menggeleng ketika sang ibu mendekat.
Wanita itu tampak makin kacau. "Mama bisa jelasin semuanya. Ini enggak—"
"Aku enggak butuh penjelasan apa-apa!" Tatapan Anjani penuh emosi dan kekecewaan. Baru kali ini gadis itu merasakan betapa perihnya melihat secara langsung pengkhianatan menjijikan dari seseorang yang paling ia sayang dan percaya.
"Mama bisa jelasin semuanya." Wanita itu masih berusaha mendekati Anjani dengan ekspresi penuh penyesalan.
Ketika jemari sang ibu mendarat pada pundaknya, Anjani menepis sentuhan itu kasar. Perih dadanya makin parah ketika tangan lembut Atma Larasati terasa nyata, pertanda bahwa angan-angan gadis itu untuk terjaga dari mimpi buruk senja ini, tidak akan pernah terwujud.
Tatapan nanar Anjani beralih pada pria yang berdiri tidak jauh di belakang sang ibu. Gadis itu menggeleng letih karena tidak percaya. Tubuhnya bergetar hebat, menahan sesak. Mengapa harus mantan kekasihnya?
"Anjani, kamu—"
"Aku kira, kamu lupa sama aku, Hae." Anjani terkekeh sinis.
"Anjani—"
"Diam, bajingan!" Gadis itu tak mampu menyembunyikan histeris, kemudian menjambak rambutnya kasar sebagai bentuk kekecewaan. Setelah mengusap wajah, Anjani mendekati Haekal Laksmana—pria yang pernah mencintai dan dicintainya. Jemari gadis itu mengikuti lekuk wajah rupawan sosok yang mulai hari ini ia juluki bajingan. Senyuman mirisnya mengembang. "Kalau kamu cinta sama mama aku, seharusnya kamu bisa jaga harga dia kayak kamu jaga harga diri aku. Bukan malah bercinta dengan dia!" Satu tamparan ia layangkan.
"Anjani, apa yang kamu lakukan?!" Atma histeris, menghalangi tubuh Haekal.
Tidak ada yang dapat gadis itu lakukan selain tersenyum getir, memperhatikan wajah menjijikan dua penabur luka di hadapannya. Setengah mati menahan air mata, tapi butir perih itu tetap meluncur. Ia membenci sang ibu yang membela Haekal.
Telunjuk Anjani mengacung geram. "Harusnya aku yang tanya! Pantas papa enggak bisa bersikap baik sama kamu!" Telunjuknya beralih pada Haekal. Tatapan gadis itu amat nyalang. "Apakah bajingan kayak kamu enggak tahu kalau wanita itu udah bersuami?!" Satu tamparan kembali ia layangkan. "Berengsek!"
"Anjani!" Tamparan Atma menukik pada pipi Anjani.
Gadis itu terisak tanpa suara, menyembunyikan perih pada pipi dan dadanya. Anjani hendak melancarkan amarah sebelum diseret Abian untuk bersembunyi di belakang punggung pria itu. Pasalnya, emosi Abian pun telah di ubun-ubun.
![](https://img.wattpad.com/cover/342582397-288-k982379.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Romansa⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...