Tungkai Anjani berayun ke sana kemari, membagikan selebaran berisi diskon kue di toko tempatnya bekerja paruh waktu. Ia tak peduli betapa deras keringat mengucur. Meskipun panas terik, netra tulus itu selalu bercahaya.
Memangnya, apa yang dapat diandalkan ketika berakhir hidup sebatang kara? Sang ibu dibesarkan di panti sementara ayah gadis itu merupakan anak tunggal. Karena sedari kecil ia tinggal di Bandung dan mereka tidak pernah dikunjungi atau mengunjungi saudara, Anjani berkesimpulan bahwa sang ayah pun sebatang kara.
Ketika mendengar suara lemah seseorang, ia menoleh, menemukan wanita muda bersama bocah laki-laki. Senyum Anjani merekah sebelum berjongkok, mengajak anak itu berbicara. "Mau kue rasa apa?"
Bocah itu beku, menyebabkan Anjani beralih pada sang ibu yang wajahnya kotor karena kehidupan.
Bocah laki-laki itu berucap ragu. "A-aku suka rasa anggur dan pisang." Bocah itu mengisap jari sebelum disentak oleh Anjani.
"Itu kotor." Ia menggeleng. "Tunggu sebentar, ya, aku ambilkan." Tak membutuhkan waktu lama, ia masuk ke toko dan keluar dengan beberapa kotak kue sebelum berjongkok lagi. "Siapa nama kamu?"
"Aku Abian Anggoro," ucapnya, mampu membuat gadis itu mengangguk paham dengan dada berdesir. Mengingat nama depan anak itu, ia meringis nyeri sebelum menyelisik wajah polos yang seharusnya tidak kotor karena kehidupan. Anjani menyerahkan satu plastik berisi tiga jenis kue.
Kehidupan Anjani pun tidak dapat dikatakan berkecukupan. Namun, setidaknya, ia masih mengenakan pakaian layak dan bekerja di tempat yang layak pula.
Nuraninya tergerak, mengusap rambut Abian pelan. "Tumbuh dengan baik. Kamu harus pintar supaya bisa membeli toko kue ini dan ... jangan mengisap jari lagi. Itu kotor." Wajah Anjani mendekat dengan ekspresi menakut-nakuti. "Nanti, perut kamu ada cacingnya." Berniat menggoda, ia menggelitiki perut Abian hingga bocah itu tertawa nyaring.
Anjani disambut dengan beberapa uang dari ibu Abian setelah berdiri dari jongkoknya. Namun, ia menggeleng, menggenggam telapak tangan wanita paruh baya itu dengan kehangatan. "Gratis, Bu. Untuk tiga rasa ini, diskonnya seratus persen."
Gadis itu mengangguk ketika ibu Abian mengucapkan ribuan terima kasih sebelum berlalu. Mereka melangkah pelan, penuh kehangatan.
Tak peduli seberapa sulit hidupmu, maka tak akan mengurangi kadar berbagi karena Tuhan akan memberi lebih. Itu prinsip Anjani sedari ia mengerti kehidupan.
***
Di hari Minggu yang cerah ini, Anjani bekerja hingga pukul tiga sore sementara Luna hingga pukul empat sore. Karena sang sahabat membawa Zaya, ia pun menyusul ke butik yang telah mempekerjakan Luna sedari lama. Setibanya di sana, Anjani terpana melihat gaun-gaun indah berjajar rapi di etalase sebelum menemukan atasan yang terbuat dari bahan organza.
"Anjani!"
Fokus gadis itu beralih ke sumber suara. "Lun, udah pulang?"
"Udah. Kamu lihatin apa, sih?" Luna berkedip menggoda dengan senyum setan.
"Gaun-gaun di butik ini bagus-bagus." Ia kembali menyelisik ke etalase. "Baju itu, yang warnanya merah muda, kayak baju kelulusan aku. Kamu ingat enggak?" Anjani berharap Luna mengangguk. "Baju yang dipilih sama Mas Abian. Kamu ingat?" Entah apa yang membuat Anjani seantusias ini ketika membahas baju kelulusannya.
Luna mengangguk setuju sebelum keduanya benar-benar berisik, bermimpi mengenai baju wisuda dan gaun pernikahan. Namun, ketika hendak berlalu, langkah mereka terhenti karena dipanggil seseorang.
"Eh, Neng, sini dulu atuh!" Wanita itu menunjuk Anjani. "Itu ... siapa, sahabatnya Luna, ibu lupa."
Anjani menyelisik Luna, tidak mengerti apa maksudnya.
"Oh, iya. Bu, kenalin, ini Anjani, gadis cantik yang sering Luna ceritakan ke Ibu." Luna menarik Anjani penuh paksaan karena ia sangat tahu bahwa sang sahabat memiliki penyakit lola.
Penuh sopan, Anjani mencium tangan wanita berhijab itu. "Saya Anjani, Bu, sahabatnya Luna." Ia menyengir kuda.
"Aduh, kalian cantik-cantik sekali." Wanita paruh baya itu mengusap rambut tergerai Anjani. "Kamu enggak ngerti Bahasa Sunda, ya?"
Anjani menggaruk tengkuk canggung. "Ngerti, tapi cuma sedikit-sedikit, Bu." Ia menyengir kuda. "Anjani udah lama tinggal di Bandung. Kata mama sama papa, Anjani orang Sunda. Tapi kalau di rumah, mama sama papa enggak pernah pakai Bahasa Sunda. Jadi, Anjani ngerti kalau ada yang ngomong Bahasa Sunda, tapi Anjani enggak bisa jawab."
"Enggak apa-apa, Cantik. Ibu udah tahu kamu dari Luna. Zaya juga selalu di sini kalau Luna kerja." Wanita itu tampak menarik napas. "Ibu kesepian. Jadi, jangan sungkan-sungkan kalau mau main. Zaya dititipin ke ibu aja kalau kalian repot."
"Makasih banyak, Bu." Anjani mengangguk. "Semoga butik Ibu selalu dilancarkan dan diberkahi oleh Allah SWT."
Wanita itu tersenyum lembut. "Amin." Ia meraih bingkisan dari atas kursi. "Tadi, ibu bikin kue rasa stroberi karena tiba-tiba ingat anak. Dimasukin ke kulkas, ya? Pasti kalian suka."
Anjani menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena tak mampu menyembunyikan canggung sementara Luna mengangguk penuh semangat. Ia telah sering menerima kebaikan-kebaikan Bu Puja.
"Eh, ya. Kalian masih kuliah, 'kan? Nanti kalau udah mau wisuda, ke sini, ya? Ibu buatin baju cantik untuk kalian. Gratis."
Netra Anjani berbinar.
"Anjani suka warna apa?"
Karena Abian mengatakan ia cocok dengan warna merah muda, Anjani jadi menyukai warna tersebut. "Anjani suka warna merah muda. Kalau Luna, warna biru laut, Bu."
"Ah ... siap. Pokoknya jangan lupa, ya, Anak Bageur?" Wanita itu makin berbinar. Netranya mengikuti sorot Anjani yang memperhatikan satu baju di etalase. "Maksudnya, anak baik."
Mereka semua terkekeh.
"Bu, kalau boleh tahu, siapa yang punya baju merah muda di ujung sana?" Gadis itu berkedip penasaran. Baju tersebut persis dengan baju miliknya.
"Yang merah muda?"
Anjani mengangguk pasti. "Anjani pernah lihat di Mall Bandung."
"Ah ... itu baju rancangan putra ibu." Senyuman Puja mengembang. "Peminatnya banyak, tapi ibu enggak tahu kenapa dia cuma memperbolehkan rancangan tersebut diproduksi sebanyak 10 pieces." Wanita itu tersenyum lembut. "Jadi, baju itu limited edition."
Luna manggut-manggut. "Berarti, pilihan mas-mu udah benar."
"Apaan, sih, Lun ...." Ia merengut lucu, kemudian berterima kasih sebelum berlalu. "Eh, tapi Zaya-nya mana?"
"Ya, Tuhan, ibu sampai lupa. Zaya masih di kamar. Karena keasyikan ngobrol sama si geulis, jadi pikun." Bu Puja tertawa renyah.
Anjani dan Luna tertawa bodoh tepat ketika wanita itu berlalu. "Lun, Bu Puja baik banget, ya?"
Luna mengangguk mantap. "Itu alasan kenapa aku betah kerja di sini. Jamnya fleksibel, pemiliknya ramah, dan yang penting tidak sepelit Tuhan."
Entah apa yang ada di pikiran Luna ketika mengejek Tuhan, membuat Anjani menyenggol keras lengan gadis itu. "Hust, ngomongnya. Nanti kualat, lho."
"Enggak masalah kualat, asalkan kualatnya bareng kamu, Cantik."
"Ih, geli, Lun. Geli!" Anjani menutup telinganya dengan ekspresi bergidig.
To be continue ....
![](https://img.wattpad.com/cover/342582397-288-k982379.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Lãng mạn⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...