19. Jiwanya Mati

31 1 0
                                    

Anjani tidak mampu membayangkan jika saat itu
ia benar-benar mengambil Fakultas Kedokteran. Selain membutuhkan biaya selangit, fakultas tersebut juga akan menguras otaknya dalam keadaan sulit. Seperti pagi ini, pelajaran SDM Internasional pun hanya lewat sebelum memantul dari kepalanya.

"Sebelum memberangkatkan karyawan ke luar negeri—ekspatriat, perlu dilakukannya pelatihan sebelum keberangkatan atau yang biasa disebut pre-departure. Ada yang tahu alasannya kenapa?"

Seseorang di sudut ruangan mengangkat tangan, sontak menyebabkan sorot Anjani beralih ke sana. Namanya Rahman. "Materi yang ini belum pernah dijelaskan, Pak."

Seisi kelas tertawa.

Pria paruh baya bergelar doktor itu tersenyum santai. "Yang bisa menjawab, nilai hariannya saya kasih A." Ia melirik Rahman sebelum menggeleng tidak habis pikir. "Rahman ... Rahman .... Kalau di kos jangan cuma tidur sama main hp. Bukunya juga dibuka, Aa."

"Saya orang Jawa, Pak, bukan orang Sunda." Rahman menimpali, kembali mendapatkan kekehan seisi kelas.

Pria berkacamata penuh wibawa itu tak acuh, kemudian menyorot sekeliling. "Tidak ada yang bisa?"

Entah mendapatkan keberanian dari mana, Anjani mengangkat tangan. "Perkenalkan, Saya Anjani Sukma. Saya akan coba menjawab, Pak." Anjani tersenyum malu.

"Silakan." Pria itu manggut-manggut sembari mencari nama Anjani di daftar nama mahasiswa.

"Di sini saya berbicara sebagai manajer." Wanita itu meringis tidak enak.

Dosen yang biasa dipanggil Pak Arya itu mengangguk mantap. "Sangat boleh, Anjani." Ia melirik sekeliling. "Yang lain juga begitu, ya? Di manajemen, selalu anggap diri kalian sebagai manajer."

"Kenapa, Anjani?" Rahman benar-benar tak sabaran. "Aku jadi penasaran, deh, sama jawaban kamu."

"Pada setiap penugasan internasional, kita sebagai manajer harus benar-benar memperhatikan kegagalan ekspatriat." Anjani mulai membuka pembahasan.

"Memangnya, kenapa bisa gagal?" Adel mengedipkan netra sipitnya bersama ekspresi bingung.

"Gagal bisa disebabkan karena mereka merasa tidak betah di tempat kerja tersebut—luar negeri—dan akhirnya meminta dikembalikan ke negara asal. Hal ini yang perlu dihindari karena perusahaan tentu saja telah mengeluarkan banyak biaya untuk memberangkatkan mereka," jelas Anjani panjang dan lebar.

Dosen bernama Arya itu manggut-manggut. "Anjani, kamu tahu komponen apa saja yang ada di pelatihan sebelum keberangkatan—pre-departure?" Sebelah alis pria itu terangkat. "Apa itu preliminary visit?"

"Eung ... preliminary visit adalah kunjungan awal karyawan sebelum resmi diberangkatkan ke luar negeri, Pak." Anjani tersenyum santai, masih sibuk menjelaskan dengan tangan yang berayun ke sana kemari. "Sebelum secara resmi dikirim ke luar negeri, karyawan akan diberi kesempatan untuk mengunjungi negara tujuan agar tahu seperti apa situasi di sana."

"Contohnya?" Kali ini, Musa tak ingin kalah untuk terlihat aktif.

Wanita itu kembali tersenyum simpul. "Seperti bagaimana sekolah anak ataupun lingkungan sekitar." Anjani menelengkan kepalanya sembari berpikir. "Ya ... lebih ke bagaimana lingkungan negara tersebut."

"Omong-omong soal ekspatriat yang ingin kembali ke Indonesia, bagaimana kalau karyawan tersebut dipaksa untuk tetap di sana saja? Jadi, tidak usah dituruti kalau mereka ingin pulang." Itu suara Sava, gadis tomboi berambut pendek.

"Kinerja mereka bisa menurun. Tidak menutup kemungkinan juga kalau mereka akan menarik diri dari perusahaan sehingga menyebabkan terjadinya kekosongan jabatan. Hal ini sangat perlu dihindari karena dapat merusak kestabilan perusahaan." Anjani kembali menjelaskan.

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang