23. Kebahagiaan Paling Ikhlas

32 2 0
                                    

Jangan pernah tanyakan seberapa hancur hidupnya. Wanita itu berbadan dua dalam keadaan ia yang tak bersuami. Benar kata para orang tua bahwa dari sekian banyak kenikmatan dunia—meskipun pria turut andil—tetap seorang wanita yang dipandang paling hina. Namun, Anjani hanya berusaha untuk tidak stres karena kasihan pada sang janin.

Jika dulu wanita itu melangkah di lorong rumah sakit bersama Abian dan Zaya, kali ini Anjani melangkah seorang diri, mengadu pada kesunyian bahwa ia hanya manusia yang berusaha mencari kebahagiaan meskipun dengan cara salah.

"Sehat-sehat, ya, Sayang? Mama sayang kamu." Anjani terkekeh lucu bak tanpa beban, melupakan sejenak perihal fakta bahwa ia adalah wanita simpanan. Namun, Anjani tak mampu menyembunyikan air mata yang telah tergenang.

Janinnya sehat, tapi masih sangat kecil. Tak jauh berbeda dari dokter kemarin yang memintanya istirahat, wanita bersnelli dengan selera humor tinggi barusan pun menyampaikan hal serupa. Jangan lupakan bahwa wanita itu masih mengingat mereka dan beranggapan doanya dulu telah terkabul.

Ia menunduk, memperhatikan perut, kemudian tersenyum lembut lagi. Tidak ada yang salah dari kehadiran janin di perutnya. Yang salah adalah cara menghadirkan.

Anjani memaku sejenak ketika menemukan Abian yang melangkah menyimpang di hadapannya penuh gesa. Entah mendapatkan keberanian dari mana, wanita itu mengekor sebelum mengendap setibanya di kamar 12 karena Abian memasuki kamar 13. Ia refleks mendekat, kemudian duduk di kursi yang memanjang tepat di depan ruangan tersebut.

"Mas, dari mana? Kenapa lama?" Suara itu lembut, makin membuat Anjani penasaran seperti apa rupa Alanis.

Entah mendapatkan keberanian dari mana lagi, ia melangkah ke pintu, kemudian mengintip melalui celah yang terbuka beberapa senti karena Abian tidak menutupnya dengan sempurna. Senyuman Anjani refleks mengembang. Memperhatikan Abian dan sang istri, ia menemukan kesejukan.

Abian benar bahwa sang istri tengah hamil. Memperhatikan perut wanita itu, Anjani berusaha menebak bahwa usia kandungan Alanis sekitar lima bulan.

"Ada sedikit urusan, Sayang." Abian menyentuh hidung sang istri. "Cemburu lagi? Kamu enggak percaya kalau aku sayang sama kamu?" Pria itu terkekeh. "Setiap pergi, kamu selalu berpikir kalau aku ketemu perempuan lain."

"Aku takut." Alanis mengerucutkan bibir tipisnya. "Aku, 'kan, lagi enggak bisa di samping kamu kalau kamu ke mana-mana."

Wanita itu refleks memperhatikan tubuh. Alanis bertubuh lebih mungil darinya. Bibir wanita itu merah jambu, hidungnya bangir, dan berwajah panjang, mirip sekali dengan artis China berdarah Uighur yang menjadi idola Anjani.

"Negative thinking terus, hm?" Abian tampak mengacak rambut Alanis sebelum terhenti karena wanita itu meraih pergelangan tangan sang suami.

"Mas ...."

"Hm?"

"Kamu janji, 'kan, enggak akan ninggalin aku?"

"Memangnya, aku punya alasan untuk ninggalin kamu, hm?" Abian mengecup pipi pualam Alanis cepat, kemudian menusuk-nusuknya dengan telunjuk.

Namun, Alanis tetap sendu. "Aku cemburu sama teman kamu, Mas. Dia, 'kan, ada di kota ini." Wanita itu berkedip sayu. "Aku tahu kamu sayang banget sama dia."

Anjani memaku. Alis wanita itu bertaut.

"Teman aku yang mana, Cantik?" Abian tersenyum geram.

"Teman yang sebenarnya mau kamu nikahi, tapi enggak jadi karena dia masih .... aku cemburu sama asisten kamu, Mas."

"Anjani?"

Anjani terkejut ketika Alanis mengangguk. Namun, ia maklum karena wanita hamil memiliki mood yang naik turun. Ia pun tidak menyangka bahwa Abian akan seterbuka ini dengan sang istri.

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang