03. Bukan Rumahnya, Tapi Nyaman

56 9 0
                                    

Abian yang sedari tadi memperhatikan tubuh bergetar Anjani setelah memasuki kamarnya, ikut merasa tidak nyaman. "Anjani, kamu ketakutan?"

Gadis itu menggeleng. "E-enggak, Mas." Ia berbohong. Namun, tadi pikiran Anjani buntu dan tidak tahu harus bagaimana selain meminta bantuan pada Abian.

"Sumpah, saya enggak akan macam-macam sama kamu." Ia melirik jam dinding. "Kamu sama Zaya bisa tidur di kasur saya. Saya akan tidur di luar." Abian tampak berusaha melepas dasi yang sedari pagi melilit lehernya. Baju basah mereka yang tadi sore sempat diguyur hujan pun telah mengering.

"Jangan! Mas Bian bisa tidur di kasur sama Zaya. Saya aja yang di sofa." Anjani menolak sembari mengibaskan telapak tangannya karena merasa tidak enak.

Abian ingin tersenyum, tapi urung dan beralih mendesah frustrasi. "Saya pria dewasa. Tidur di mana aja, sama lembutnya. Saya enggak mau kamu ngerasa enggak nyaman apalagi takut."

Gadis itu menggigit bibir, berusaha mengontrol rasa cemasnya. "Saya enggak apa-apa, Mas." Mengingat Zaya yang memang tidak dapat berjauhan darinya, Anjani tersenyum kaku. "Sa-saya cuma agak takut kalau Zaya jatuh dari tempat tidur." Tentu saja Anjani berbohong karena sampai kapan pun ia tak akan mampu menceritakan masa lalunya dengan siapa pun, termasuk Abian.

Mendengar keluhan yang menurut pria itu lucu, Abian memperhatikan sekeliling sebelum mengangguk samar. Ia memang tidak memiliki cukup banyak bantal untuk mengganjal tubuh Zaya. "Saya tidur di sebelah kanan dan kamu di sebelah kiri Zaya." Pria itu berucap hati-hati, seperti tidak ingin Anjani beranggapan buruk tentang dirinya. "Saya janji enggak macam-macam."

"Memangnya, Mas enggak keberatan?" Netra polos Anjani pun seolah berharap Abian tetap nyaman.

Pria itu mengembuskan napas tenang sebelum menggeleng. Abian baru saja mengharapkan jawaban, bukan pertanyaan seperti yang terucap dari bibir Anjani. Ia sebisa mungkin tidak mengusik kenyamanan sang gadis karena Anjani tidak berhasil menutupi wajah kakunya ketika berdekatan dengan pria. Abian sedikit kelagapan karena menemukan Zaya yang tiba-tiba membuka mata sangat lebar. "Zaya bangun, An."

Gadis itu pun mengusap lengan mungil sang adik cepat, membiarkan Abian berlalu ke kamar mandi. "Tidur lagi, yuk, Sayang. Maafin kakak, ya, karena malam ini kita enggak bisa tidur di kamar Zaya."

Suara lembut Anjani menyebabkan langkah Abian ke kamar mandi terhenti, kemudian pria itu mengintip dari balik pintu. Ia perhatikan, pipi Anjani telah menempel pada bantal. Netranya terpejam, tapi jemari gadis itu lihai mengusap rambut lembut sang adik.

Saya harap, kamu tetap kuat. Hati Abian berucap.

***

Tadi malam, Abian mengatakan bahwa hari ini Anjani boleh bersedih, tapi tidak dengan besok.

"Selamat pagi, dunia!" Anjani memekik girang, sengaja mengajarkan Zaya berbicara. Namun, bayi empat bulan tersebut hanya mengusal wajah karena baru terjaga.

Seluruh insan pernah merasakan luka meskipun dengan cara yang berbeda. Namun, Anjani tidak menyukai cara Tuhan memberinya lara.

Ketika derap seseorang mendekat, Anjani berbalik terkejut. Wajahnya tampak panik. "Pagi, Mas."

"Pagi." Merasa tidak nyaman karena kecanggungan mereka, pria itu berdehem. "Boleh saya tanya?" Lirikan Abian jatuh pada Zaya yang tiba-tiba memberinya senyum sebelum beralih pada kecupan Anjani di pipi sang adik.

Gadis itu mengangguk, menggerakkan tungkainya menuju ranjang dan meletakkan Zaya di antara dua bantal.

"Kamu masih SMA. Kelas berapa?" Pria itu mendarat di sofa sudut ruangan.

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang