Anjani mengalami pendarahan Uterus Abnormal. Sebenarnya, banyak sekali faktor pemicu pendarahan tersebut. Namun, dokter mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah karena ia terlampau stres.
"Mas, besok tolong antar saya pulang, ya?" Gadis itu menyorot Abian sayu sebelum berusaha duduk, terlintas rasa bersalah yang hingga detik ini masih mengusik pikirannya. "Maafin saya, ya, Mas?" Anjani tersenyum masam. Ia telah banyak merepotkan Abian akhir-akhir ini. "Karena kebohongan saya, reputasi Mas Bian jadi buruk di mata mereka."
Pria itu terkekeh samar. Penjelasan Anjani yang sengaja menggunakan namanya untuk berbohong, cukup membuat Abian mengerti meskipun pria itu sempat terkejut. Gadis itu hanya ingin memberitahu seberapa besar lukanya karena sang ibu hamil anak pria lain di luar pernikahan. Dengan cara mengaku hamil, ia berharap Atma akan merasakan sakit yang sama. Pikiran Anjani sangat polos dan sederhana.
"Saya ngerti, Anjani." Abian menyisir rambutnya ke belakang. "Bisa janji satu hal sama saya?" Dengan netra yang tak ingin lepas dari wajah pucat Anjani, ia bersandar pada sofa. "Tetap semangat. Jangan sampai jatuh sakit lagi karena stres."
Gadis itu mengangguk pelan dengan senyuman.
"Saya khawatir."
Gadis itu bisu. Andai bisa, ia ingin hidup tenang meskipun masalah selalu menghancurkan bahagianya.
"Saya ... juga enggak selalu bisa ada di sisi kamu." Terdengar embusan napas pria itu yang menyiratkan sesak.
Anjani mengangguk paham. Tentu saja. Abian juga memiliki kehidupan. Namun, ia tidak tahu bahwa pernyataan pria yang tampak tenang di sofa itu lebih kompleks dari ucapannya. "Saya ngerti, Mas."
"Bukan itu, Anjani." Abian menggeleng. Wajahnya tampak frustrasi.
Kedua alis gadis itu bertaut karena tidak mengerti. "Maksud Mas Abian?"
"Selama saya di tanah ini, saya janji akan selalu ada untuk kamu dan Zaya. Tapi," pria itu beranjak, kemudian pindah ke tepi ranjang yang ditempati Anjani, "bulan depan saya harus ke Dubai karena dipindahtugaskan."
Dada Anjani tiba-tiba terasa hampa. "Kata Luna, yang punya Mega Group keluarga Mas Bian." Gadis itu berkedip penasaran, mencari informasi yang selama ini belum ia dapat seutuhnya. "Kenapa bisa dipindahtugaskan?"
Karena tak menyangka Anjani sepolos ini, pria itu tersenyum simpul. "Mega Group punya ayah saya, Anjani. Walaupun atasan di sana, tapi saya juga seorang pekerja. Saya digaji oleh perusahaan dan bertanggung jawab atas jabatan."
Beberapa detik lalu, Anjani sempat semringah. Namun, mendengar penjelasan Abian setelahnya, gurat gadis itu berubah sayu.
"Setelah dipindahtugaskan, mungkin saya akan jadi zombie kantoran." Ia terkekeh, berusaha menyembunyikan rasa sedihnya dan merasa berhasil setelah menemukan senyum gadis itu meskipun di tengah bibir Anjani yang pucat.
"Semangat, Mas. Semoga hasilnya memuaskan." Anjani menyengir kuda, juga berusaha menutupi rasa sesaknya yang menyerang tiba-tiba.
"Hasil apa?" Sebelah alis Abian terangkat.
"Hasil kerja Mas Bian. Memangnya, Mas berpikir apa?"
Tawa keduanya menggema. "Mana tahu kamu berharap saya mendapatkan gadis berhidung mancung dan bermata cokelat. Kalau iya, doa kamu agak berat."
"Lho, kenapa berat, Mas?" Netranya berkedip-kedip. "Cuma doa, jadi enggak berat."
Lagi-lagi Abian tersenyum karena kepolosan Anjani. "Saya pecinta wanita Indonesia. Seperti makanan, saya lebih suka nasi padang daripada steik." Pria itu terkekeh jenaka.
"Tapi wanita, 'kan, bukan makanan."
Entah sejak kapan Abian seperti menemukan penyebab senyumnya yang telah lama hilang karena kematian sang adik. "Memangnya, kalau pria bisa disebut makanan?"
![](https://img.wattpad.com/cover/342582397-288-k982379.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Tanpa Rumah
Romance⚠ Bijaklah Memilih Bacaan! Senja menjijikan itu telah mengukir sejarah kelam di mana Anjani kehilangan sang ibu untuk selamanya. Bukan karena kematian, melainkan pengkhianatan yang menjadi sumber penderitaan dan trauma. Sanggupkah Anjani melanjutka...