05. Luka & Sedikit Penawar

39 7 0
                                    

Tiga bulan berlalu, waktu terus berjalan, maka kehidupan pun tak akan berhenti sebelum Tuhan merenggut nyawa insan.

Besok pagi temani saya ke Bogor. Begitu pesan yang baru saja Abian kirimkan untuk Anjani, penyebab bibir gadis itu tersenyum tipis sebelum memutuskan keluar kamar karena haus.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam sehingga minimnya aktivitas berpengaruh terhadap penerangan ruangan di rumah ini. Memperhatikan pintu kamar sang ibu adalah luka. Jika bisa, Anjani ingin dilahirkan kembali dalam keadaan tuli, buta, dan mati rasa agar tak satu pun sakit dapat mengusik jiwanya.

"Aku sayang kamu, Hae."

"Aku lebih sayang sama kamu, Ma."

Senyuman nyeri dari bibir Anjani beralih menjadi senyuman sinis. Buku jari gadis itu memutih. Ia menoleh ke arah pintu yang terbuka beberapa senti. Air matanya kembali mengucur dalam isak tangis meskipun tanpa suara. "Jadi, ini yang kalian lakukan kalau aku enggak di rumah?" gumamnya di tengah kepedihan. Sesenggukan Anjani tertelan oleh suara guntur. Andai tidak ada Zaya, mungkin ia telah gantung diri.

Gadis itu menenggak air dingin dari dalam kulkas hingga tandas sebelum menyandarkan pinggul pada pantry dengan netra menyatu. Kepala Anjani pun berdenyut, diperparah oleh lambungnya yang mulai terasa nyeri. Menyadari keberadaan Zaya, ia membuka mata dan hendak kembali ke kamar sebelum memaku.

Bayangan Haekal mendekat. Perut berbentuk dengan jubah tidur yang melekat sempurna pada tubuh pria itu adalah pil pahit yang harus Anjani telan. Merasa muak, ia berlalu cepat sebelum tersentak karena Haekal menarik pergelangan tangannya. Sorot Anjani berubah nyalang, penuh kebencian.

"Anjani, aku mau ngomong."

Anjani menyilangkan lengan, menutup rapat lukanya dengan wajah penuh keangkuhan agar tidak makin dijatuhkan.

"Aku cinta sama mama kamu." Suara Haekal berat, dalam, dan terdengar memuakkan bagi Anjani.

Gadis itu terkekeh bodoh. "Kamu mau cinta atau benci sama siapa aja, bahkan seorang pelacur sekalipun, bukan urusan aku!" pekiknya lantang, bersamaan dengan hujan dan guntur yang bersahutan.

Anjani hendak berlalu sebelum sosok yang tak sudi lagi ia panggil "mama" menyembul dari temaram. Menyadari satu hal, gadis itu berdecih. Jubah tidur wanita itu senada dengan milik Haekal, layaknya pengantin baru yang romantis. Apakah keduanya masih bernurani?

"Kami saling mencintai." Atma menggeleng dengan sorot sayu. "Mama enggak tahu kalau Haekal mantan kekasih kamu."

Kalian selingkuh di belakang papa! Anjani memilih bungkam. Ia jijik dengan takdir Tuhan.

Wanita itu menunduk sebelum menyorot Anjani lagi. "Kami udah sepakat untuk menikah karena mama udah hamil tiga bulan."

Tuhan, kau jahat! Anjani menggigit bibir bagian dalam hingga berdarah, bentuk pelampiasan atas sakit pada dada. Cairan bening di netra gadis itu pun mendesak turun. Baru kali ini ia merasakan luka akibat pengkhianatan terbesar yang dilakukan oleh sosok tercintanya.

"Masalah papa kamu, mama udah urus surat cerai," lanjut Atma, semudah mengoyak kertas basah.

Dalam luka, Anjani mengangguk pada diri sendiri. Netra gadis itu menyatu sejenak, menikmati kepingan rasa sakit yang seolah menggerogoti kebahagiaannya. Sorot sendu itu beralih pada Haekal dengan senyum penuh kebencian. Memecah ketegangan, ia bertepuk tangan. "Hebat, Hae! Selamat! Sebentar lagi, kamu jadi ayah," sarkasnya, sembari mengusap bahu sebelum beralih pada perut berotot pria itu, sengaja memberi godaan.

"Anjani ...."

Anjani menarik tangannya, kemudian meninggalkan dua insan dengan kucuran air mata yang ia hapus di tengah temaram.

Bidadari Tanpa RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang