🌾🌾🌾
“Astaghfirullah, Galvin!” teriak Nurul.
Nurul hendak keluar dari rumahnya dan berniat pergi ke toko kue miliknya, namun langkahnya terhenti kala melihat sosok pemuda tergeletak didepan gerbang rumah. Dan yang lebih mengagetkan Nurul, pemuda itu adalah Galvin! Bagaimana bisa?
“Mang Usep!” teriak Nurul memanggil Supir pribadi dirumah itu.
Nurul berjongkok menepuk pelan pipi Galvin yang pucat. “Vin, Galvin. Bangun Nak.” ucap Nurul terus menepuk pipi yang kini terasa panas, itu.
“Iya Bu, ada yang bisa saya ban—Astaghfirullah!” Mang Usep terpekik saat melihat tubuh Galvin yang ambruk didepan gerbang dengan Nurul yang terus menepuk pipi laki-laki itu. “Den Galvin kenapa?” tanyanya ikut berjongkok.
“Ya mana saya tau, Mang! Saya juga baru dateng. Kuat gendong, nggak?” tanya Nurul menatap Mang Usep.
Mang Usep langsung mengangguk. Tubuh Galvin tidak besar dan tidak membuat dirinya kesusahan untuk sekedar menggendong, saja!
Dengan segera Mang Usep membawa Galvin masuk kedalam di ikuti oleh Nurul. Membaringkan anak Malang itu dikamar tamu.
“Makasih ya, Mang” ucap Nurul.
Mang Usep mengangguk sambil tersenyum pada Majikannya, itu. Setelahnya Mang Usep kembali ke tempat semula.
Terdengar langkah tergesa menghampiri Nurul. Sudah Nurul pastikan pemilik langkah tersebut adalah Vina.
“Kenapa sih, Mah? Pagi-pagi udah ribut!” ucap Vina menghampiri Nurul yang berada dikamar tamu. Langkahnya terhenti kala menyadari siapa yang tengah terbaring di atas ranjang, sana.
Galvin? Kenapa dia ada disana se pagi ini? Dan... Kenapa muka lelaki itu pucat? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang timbul di benak Vina.
“Kamu kenapa semalem gak suruh Galvin masuk?” tanya Nurul datar.
Bukan tanpa sebab Nurul berbicara seperti itu, pasalnya, Galvin jika bertamu akan langsung masuk kecuali Vina yang melarangnya. Dan mengingat semalam Vina lah yang pulang malam, sudah membuat feeling Nurul yakin kalau Vina tidak mengizinkan Galvin masuk. Sebetulnya apa yanh terjadi diantara keduanya?
“Kok Vina sih? Ya mana Vina tau! Vina gak ketemu dia tadi malem!” elak Vina.
“Kamu jawab jujur atau Mamah akan potong uang jajan kamu! Ken—”
“Ini salah aku, Tan. Jangan marahin Vina. Semalem aku emang gak ketemu Vin, kok.” lirih Galvin.
Atensi Nurul beralih menatap Galvin yang kini tengah berusaha bersandar. Gegas Nurul membantu Galvin. Maniknya menelisik wajah Galvin dan...
“Ini bekas darah?” tanya Nurul saat menyadari adanya bercak merah yang kering dari hidung Galvin.
Galvin diam. Tidak ingin mengingat kejadian semalam. Dia tidak ingin sampai merasakan sakit itu kembali karena mengingat darah.
Mengerti yang di lakukan Galvin, Nurul pun berdiri. Menatap manik anaknya yang kini menatap ke arah lain.
“Kamu urus Galvin. Mamah mau ke toko kue!” putus Nurul dan langsung berlalu dari sana.
Sementara Vina masih mencerna ucapan Nurul. Apa maksudnya? Jelas dirinya tidak terima!
“Nggak! Mamah! Kok aku sih?!” teriak Vina. Namun sayang, Mamahnya sudah pergi keluar rumah.
Vina beralih menatap Galvin yang kini tengah menatapnya dengan tersenyum simpul. “Ngapain lu senyum? Ada yang lucu?” sinis Vina. Kakinya hendak melangkah namun suara Galvin menghentikannya.
“Lu harus urus gue, Vina. Gue belum makan. Gue laper!” ucap Galvin dengan suara serak. Jika boleh jujur, saat ini dirinya benar-benar lelah. Sakit sekali sekujur tubuhnya.
“Huh, bukannya lu yang bilang, ya. Masakan Mamah gue itu gak lebih enak dari masakan pacar, lu! Gak malu, lu?” tanya Vina datar.
Galvin diam. Nyatanya memang benar adanya, ini semua salah dia. Vinanya seperti ini karena dirinya.
“Maaf... Gue nyesel.” lirih Galvin.
“Gak usah nyesel! Sumpah kagak guna!” sinis Vina. “Dan sekarang lebih baik lu pulang! Gue ada urusan sama Andra! Gak ada waktu buat urusin sampah kek, lu!” lanjutnya berlalu dari sana.
Galvin diam. Lagi dan lagi mendengar cacian yang terlontar dari mulut Vina membuat kepalanya kembali berdenyut.
“Gue telat, ya?” lirihnya pada diri sendiri.
🌾🌾🌾
Galvin melangkah pelan menuju pintu utama. Iya, Galvin memutuskan pergi dari rumah Vina. Dirinya cukup tau diri.
“Sakit banget kepala gue.” lirih Galvin.
Galvin membuka pintu rumahnya dan berjalan lunglai ke arah sofa. Membaringkan badannya disana, dengan segera membuka jaket yang membungkus badannya.
“Nyesel gue, sumpah!” gumamnya, kembali.
Ternyata benar adanya, penyesalan datang diakhir cerita. Dan ya, kini Galvin merasakan itu semua. Apakah Vina—nya akan kembali? Tapi akan sangat mustahil, bukan?
“Claudia. Kenapa gue bisa terjebak? Kenapa gue terjerat pesona, lu? Kenapa?” lirihnya.
Hal yang paling disesali seorang Galvin Mahendra kini adalah menjauhnya Vina dari kehidupannya. Galvin akui dirinya memang tak tahu malu. Tapi apa boleh buat? Galvin tidak ingin kehilangan Vina!
“Kepala gue sakit, lagi! Nyut nyutan banget ini rasanya ya Tuhan...” lirihnya.
Galvin memejamkan matanya guna mengurangi rasa sakit yang saat ini dirinya rasakan. Bukannya mengurang malah rasanya semakin bertambah.
Meringis pelan, memejamkan mata, serta beberapa hal Galvin lakukan agar mengurangi rasa sakitnya, tapi kenapa hal itu sia-sia semua?
“Mah... Sakit... ”
Kenapa kepalanya sakit seperti ini? Seingatnya terakhir dia mengalami sakit seperti ini empat tahun silam. Saat orangtuanya bercerai. Kenapa sekarang harus merasakan kembali?
Dengan langkah sedikit pelan Galvin mencoba berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya berada. Bagaimana pun dirinya harus istirahat!
“Semoga besok gue bisa membuat lu kembali lagi, Vina!” lirihnya.
🌾🌾🌾
Aku terima kok semua komen kalian, tapi yang sekiranya membangun semangat aku. Bukan malah menjatuhkan, ya!
Alangkah baiknya kalian Vote!
KAMU SEDANG MEMBACA
GALVINA (End)
Teen Fiction"Kebodohan gue adalah, dimana gue ngelupain orang yang selalu ada dan mentingin orang yang baru ada." ... Galvin Mahendra. "Gak usah nyesel! Kagak guna, sumpah!" ... Vina Aureliya. °°°° WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA|||||