25.

1.2K 54 1
                                    

Udah follow?
Kalau belum follow yuk segera follow.  Heheh...

Maksa, nih!!! 
Aku do'ain yang udah follow semoga rezeqinya lancar seperti air yang mengalir. Aamiin...

💬

🌾

“Pulang sama siapa?”

Pertanyaan itu membuat Vina mendongak menatap siapa yang barusaja bertanya ke–padanya.

Vina menghembuskan nafasnya pelan. Kenapa disaat Vina ingin melupakan manusia satu ini susah sekali? Bagaimana tidak? Manusia itu selalu muncul dimana pun Vina berada!

“Bukan urusan, lu!” ucap Vina datar. 

Galvin, ya, siapa lagi manusia yang saat ini Vina jauhi selain sosok Galvin Mahendra? Galvin berdiri didepan Vina. Ah ralat, tepatnya motor Galvin berhenti tepat di halte yang kini tengah Vina duduki.

Jika boleh jujur, sebenarnya Vina juga bingung harus pulang sama siapa saat ini. Bukan apa-apa, tadi Andra pamit duluan karena katanya Mamahnya sakit, terus Reno? Ah jangan tanyakan si Kadal itu, Reno bolos dan tidak sekolah! Memang murid terbaik Reno ini, baru beberapa hari masuk sudah berani membolos!

Vina tidak bodoh, bisa saja Vina menelpon Supir pribadinya, tapi naasnya, handphone Vina mati. Mungkin habis batre.

“Iya, aku tau kok bukan urusan aku, tapi aku khawatir, disini rawan loh kalau udah sore.” ucap Galvin sengaja menakuti Vina. Siapa tau ada kesempatan untuknya bisa pulang bareng Vina, kan? 

“Kalau lu mau pulang tinggal pulang, gak usah mikirin gue. Lagian gue yakin kok Supir gue bentar lagi dateng!” bantah Vina. 

Iya, Vina memang sengaja menunggu di halte, itu. Dia berfikir kalau Supirnya pasti menjemput Vina kalau Vina tidak pulang-pulang. Mamahnya pasti cemas. Jadi tidak perlu diantar oleh Galvin!

Galvin tersenyum, gemas juga melihat wajah ditekuk milik Vina. “Supir kamu taunya kamu diantar sama Andra atau Reno, kan? Biasanya juga kamu suka pulang telat. Jadi Supir kamu pasti lagi tidur.  Satu lagi, Supir kamu kebo kalau kamu lupa.” ucap Galvin diakhiri kekehan kecil. 

“Ck, bawel amat sih, lu! Gue bilang kalau lu mau pulang tinggal pulang aja! Rempong!”

“Kenapa sih emangnya kalau aku anterin kamu?” tanya Galvin berusaha menahan emosinya. Jujur saja saat ini Galvin benar-benar emosi. Entah apa sebabnya, tapi melihat Vina yang terus menghindar darinya membuat hati Galvin tidak terima. Tapi ya, Galvin bisa apa? Sekali lagi Galvin hanya bisa menerima!

Vina menatap tajam mata Galvin. Tersorot jelas aura kebencian dimata Vina. “Pikun, lu? Gue rasa lu masih cukup muda buat pikun! Lu lupa siapa yang mulai, huh? Lu, kalau lu lupa Galvin Mahendra!” ucap Vina penuh penekanan. 

“Iya, aku tau aku salah, tapi aku minta maaf, Vina. Tolong kasih aku kesempatan, Vin. Tolong... ” lirih Galvin. 

“Lagi? Kesempatan yang ke–berapa, Galvin? Lu fikir gue obat? Dicari saat dibutuhkan doang? Gak ngotak, lu!” ucap Vina, lagi.

“Oke! Maaf. Aku gak akan maksa kamu buat maafin aku, lagi. Tapi aku mohon, kali ini kamu harus ikut aku, ya? Aku khawatir sama, kamu. Ini udah jam lima lebih, Vina. Tadi aku sengaja nungguin kamu, tapi kamu disini udah hampir dua jam nungguin Supir kamu itu, jadi aku beraniin buat nyamperin kamu. Please ya, pulang bareng aku.” ucap Galvin lembut. 

GALVINA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang