🌾🌾🌾
~>_<~
Hari Demi hari telah Vina lalui dengan pemandangan Yang selalu menyebalkan disetiap harinya. Iya, pemandangan apa lagi kalau bukan melihat kemesraan Galvin dan Cla.
Mereka selalu bersama. Pulang bersama, ke kantin bersama, bahkan apapun yang menyangkut Galvin pasti ada hubungannya juga dengan, Cla.
Sepertinya, mulai sekarang gelar sendal jepit untuk Vina dan Galvin telah musnah terganti oleh Cla.
Sungguh sangat menyebalkan!
“Gue bisa kok ikhlas, tapi ini gue juga masih belajar buat hapus rasa dulu, abis itu gue yakin kalau rasa gue udah gak ada, gue pasti dengan mudah meng–ikhlaskan!” gumam Vina Yang kini berada di parkiran sekolah tengah mengumpulkan niat untuk masuk ke dalam. “Eh tapi, apa gue ke balik, ya? Apa ikhlas dulu? Kagak tau ah gue!” lanjutnya.
Dan ya, perlu kalian ketahui, Vina sudah tidak lagi di antar dan dijemput oleh Galvin. Dan selama itu, Vina di antar sang Supirnya untuk ke sekolah dan pulang pun Vina dijemput.
“Sial! Kenapa gue bisa suka sama dia?” gumam Vina.
Kakinya mulai melangkah. Menelusuri jalan yang memang menuju kelasnya.
Vina menghembuskan nafasnya saat sudah berada didepan pintu kelas. Terdengar suara ricuh didalam, siapa lagi kalau bukan kelakuan teman-teman Galvin kecuali Agas?
“Woy, Vin. Lu baru dateng?” tanya Laras melihat sahabatnya yang baru datang dengan muka lusuh bak pakaian yang belum di setrika.
Vina melangkah malas melewati meja Galvin dan teman-temannya. Ya, kalian juga pasti sudah tahu kan karena apa?
“Kenapa, lu?” tanya Laras, lagi.
Gelengan yang Laras dapat dari Vina. Rasanya Vina terlalu malas untuk sekedar menjawab pertanyaan sahabatnya.
“Vin... ”
Vina mengalihkan pandangannya ke arah suara. Disana, Galvin menatapnya dengan raut... Bersalah, mungkin.
Ah iya kah?
“Kenapa?” tanya Vina acuh.
Galvin menghampiri meja Vina. Dia memberikan kode kepada Laras agar Laras pindah sebentar ke belakang Vina. Alhasil Laras hanya menurut saja.
“Vina... Maaf.” lirih Galvin menunduk.
Vina menghela nafas kasar. “Buat apa?” tanya Vina menatap wajah Galvin.
Sekesal apapun Vina pada Galvin, Vina akan berusaha mengontrol emosinya. Dia tau bagaimana Galvin kalau mendapatkan sekedar bentakan dari Vina. Dan Vina tidak ingin kejadian 2 tahun silam terjadi lagi sekarang.
“Karena gue gak jemput, lu.” lirih Galvin masih menundukan wajahnya.
“Gak papa, udah biasa ini, kan?” ucap Vina santai dan menelungkupkan kembali wajahnya.
Mendengar ucapan Vina membuat Galvin kelabakan, Galvin mengakui kalau dirinya salah, ya, Galvin mengakui itu.
Tapi apakah se–gitu salahnya Galvin sampai Vina mengabaikannya?
Ah sepertinya tidak, toh Galvin kan memilih pacarnya, jadi wajar, kan? Vina ini kek bocah! Fikir Galvin didalam otak minusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GALVINA (End)
Teen Fiction"Kebodohan gue adalah, dimana gue ngelupain orang yang selalu ada dan mentingin orang yang baru ada." ... Galvin Mahendra. "Gak usah nyesel! Kagak guna, sumpah!" ... Vina Aureliya. °°°° WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA|||||