Part 18 : Sofia Cemburu?

2.2K 462 153
                                    

Sofia duduk di belakang rumah dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat lelah karena baru saja pulang dari pasar. Sisa jualannya pun belum ia bereskan, masih tertumpuk di motor.

"Makan dulu, Sof!"

"Nanti, Buk, belum terlalu lapar."

Wulan mendekati anak gadisnya dengan membawa air putih dan sepiring makanan. Meski tau Sofia akan menolak dilayani seperti itu karena tidak ingin merepotkan ibunya, Wulan tetap membawakannya.

"Ah, Ibuk, aku kan bisa ambil sendiri nanti. Tangan dan kaki masih sehat, lho! Ibuk istirahat saja."

"Kamu yang capek, kok Ibuk yang disuruh istirahat,"

Sesuai yang sudah diprediksi, namun melihat Sofia yang dua hari ini terlihat tak bersemangat membuat Wulan tidak ingin mengalah pada Sofia lagi. Sudah terlalu hafal bagaimana jika Sofia sedang banyak pikiran, asam lambungnya bisa kambuh.

"Ibuk udah lama nggak nyuapin anak-anak, sini!"

Sofia menoleh, hendak protes namun ketika melihat ekspresi ibunya yang penuh ketulusan apalagi suapan sudah di depan matanya, ia tidak tega. Sambil berdecak, ia tetap membuka mulut dan mengunyah makanan dari ibunya.

"Tumben nggak pedes, Buk?"

"Kamu dua hari makan nggak teratur, masih minta yang pedes?" Wulan membalikkan pertanyaan yang  lebih tepatnya adalah sebuah teguran.

"Hambar rasanya kalau nggak pedes," Sofia kembali membuka mulutnya, keberatan dengan perlakuan Wulan namun tak ingin membuat wanita tercintanya itu kecewa.

Lama kelamaan, air mata menetes dari pelupuk mata Sofia. Ia menikmati suapan demi suapan dari ibunya tanpa terasa ada sebuah emosi yang membuncah di hatinya.

"Ibuk kira air mata kamu udah habis, Sof, lama nggak lihat kamu menangis," ujar Wulan sambil terkekeh. Ia paham sekali apa yang kini anak gadisnya rasakan.

"Sofia capek, Buk!" Akhirnya ia tak kuasa memendam rasa. Menunduk untuk menyembunyikan wajahnya di antara lutut. Menangis sesenggukan, seolah sudah lama sekali ia memendam rasa tanpa bisa mengekspresikannya.

Wulan menarik napas panjang sambil mengusap punggung yang masih bergetar itu. Sengaja ia membiarkan Sofia menangis semaunya, mungkin dengan begitu apa yang dipendam selama ini bisa berkurang.

"Capek karena kamu memendam rasa bersalah. Menangislah sepuasmu! Lepaskan beban rasa bersalah yang kamu pendam selama ini! Karena Sebelum meninggal, bapak selalu manggil nama kamu,"

Sofia berhenti menangis, ia mengangkat kepala untuk menatap ibunya.

"Iya, nama kamu yang sering bapak panggil."

Mendengar itu, Sofia kembali menangis hebat. Penyesalan kembali memenuhi hatinya. Hari di mana bapaknya meninggal, dia tidak berada di dekat bapaknya. Ia masih sibuk beradu ego dengan bapak sendiri. Sofia masih sangat tidak ingin mengalah dengan keinginan bapaknya yang ia nilai selalu memaksa tanpa mau mendengarkan kemauannya.

"Percaya sama Ibuk, bahwa bapak tidak pernah benar-benar menyimpan rasa marah dan kecewa sama kamu. Dulu, Ibuk menjadi pendengar bapak yang sering juga mengungkapkan rasa bersalahnya karena bapak merasa terlalu keras sama kamu. Yang harus kamu tahu, apapun kelakuan kamu dulu, bapak tidak pernah benar-benar marah. Bapak sendiri yang bilang, jika anak itu terlahir seperti kertas putih. Baik buruknya anak, tergantung orang tuanya dalam menghiasi kertas itu. Maafkan bapak yang mungkin kesulitan mengungkapkan kata penyesalan. Tapi sekali lagi, kamu harus percaya sama Ibuk. Bahwa bapak sangat mencintai kamu,"

Tubuh Sofia masih bergetar. Tidak akan menampik ucapan ibunya karena dia sendiri merasakan bagaimana Sang Bapak begitu mencintai nya. Namun ironisnya, ia baru menyadari itu semua setelah bapaknya tidak ada lagi di dunia ini.

Seindah Bunga Hydrangea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang