Tidak banyak yang berubah dari ruang tamu di ndalem pondok Nurul Jannah. Penataan ruang, cat dinding, kipas angin besar di bagian tengah langit-langit, karpet tebal yang memenuhi seluruh lantai ruang tamu, lalu almari kaca berisikan piala-piala yang diraih oleh Faqih maupun ayahnya.
Namun ada satu perbedaan yang disadari Sofia. Kini, foto-foto yang tergantung di dinding ruang tamu itu sedikit berbeda. Ada satu tambahan foto yang dibingkai dengan figura keemasan. Foto yang ukurannya lebih besar dari yang lain. Terdapat gambar sepasang pengantin lengkap bersama orangtua masing-masing yang tengah tersenyum bahagia.
Mata Sofia yang diam-diam melirik ke segala arah ruang tamu itu berhenti ketika seorang lelaki paruh baya keluar diikuti oleh Faqih yang kini sudah tidak lagi menggendong anaknya. Pria tua itu nampak berhenti sejenak, mengamati Atta dan Sofia sesaat. Setelah menyadari siapa yang datang, pria bernama Zabidi itu tersenyum tipis. Masih ingat dengan jelas siapa wanita muda yang duduk menunggunya, meski masih belum paham siapa sosok pria muda yang menemaninya.
"Sofia, gimana kabarnya?" sapa Zabidi sambil menerima Atta yang maju mendekat untuk mencium tangannya. Tak lupa Atta juga mengalami Faqih yang duduk di samping sang ayah.
"Alhamdulillah baik, Abah." jawab Sofia yang tengah menunduk. Rasa sakit hati membaur bersama rasa takdzim sehingga rasanya tak ingin menatap ke arah depan.
Atta sudah kembali duduk di samping Sofia. Sejenak keheningan menyelimuti ruang berukuran 4x6 meter itu. Atta belum ingin bicara, menunggu sepasang ayah dan anak yang kini tengah melihat mereka dengan tatapan yang sulit dipahami.
"Ada yang bisa kami bantu?" Akhirnya Zabidi membuka suara. Meskipun setengah hati, ia tetap tidak boleh memperlakukan tamu dengan buruk.
Mendapat kesempatan bicara, Atta mulai menjelaskan maksud kedatangannya. Sebelum itu ia melirik Sofia yang masih setia menunduk.
"Sebelumnya, perkenalkan dulu, nama saya Atta, Pak Kyai. Sowan kami ke sini, pertama ingin Silaturahim kepada Pak Kyai sekeluarga. Yang kedua, mohon maaf atas kelancangan kami, kedatangan kami ingin sekali mengharap ridho dan doa pak kyai sekeluarga pada pernikahan kami."
Atta menggeser dua buah undangan atas nama Zabidi dan Faqih ke hadapan mereka. Sebenarnya Sofia tidak ingin menulis nama Faqih di salah satu undangan, cukup dengan nama pak kyai beserta keluarga. Akan tetapi, berdasarkan saran dari ibunya, Faqih diundang sendiri karena sudah berkeluarga.
Sementara itu, baik Zabidi maupun Faqih memiliki pikiran yang sama. Mereka menatap bingung ke arah Sofia yang datang bersama seorang lelaki dengan membawa undangan pernikahan. Itu artinya pernikahan belum terlaksana tapi mereka sudah bebas pergi berdua saja.
Zabidi meraih undangan atas namanya. Membuka lalu melihat tanggal pernikahan yang akan dilaksanakan dua minggu lagi.
"Oh, terimakasih. Insyaallah kami usahakan datang."
Faqih ikut membaca undangannya. Entah kenapa tiba-tiba ia seperti tidak bisa fokus. Setelah sekian lama tidak pernah mendengar kabar tentang Sofia, hari ini wanita itu datang membawa undangan. Tentu saja dia tidak berhak merasakan apapun. Pilihan hidup sudah ia tentukan sendiri. Dan dia sudah memilih untuk tidak melanjutkan dengan Sofia.
"Mas Atta asli sini saja ya? Kerja di mana?" Zabidi membaca nama orangtua Atta beserta alamatnya yang ada di undangan.
"Iya, Pak Kyai. Saya asli Semarang sini. Alhamdulillah saat ini tengah bekerja di kementerian agama."
Merasa pekerjaan calon suami Sofia berhubungan dengannya, Faqih ikut bersuara, "Di bagian apa, Mas? Saya kerja di KUA."
"Saat ini di bagian penyelenggara zakat dan wakaf, Gus. Awalnya ikut di bagian pendidikan diniyah dan pesantren, tapi bulan lalu saya rolling."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Bunga Hydrangea
Ficción GeneralCerita tentang seorang pemuda bernama Atta yang sejak lahir sudah dimanjakan dengan hidup yang berlimpah materi, berlimpah ilmu agama, berlimpah pendidikan dan kasih sayang. Sehingga ia tumbuh menjadi sosok baik hati dan bijaksana. Berhasil menjadi...