Part 1 : Mbak Galak

7.3K 571 125
                                    

Panjengukan santri atau yang lebih dikenal dengan istilah sambangan adalah salah satu momen yang membahagiakan bagi santri-santri yang sedang berjihad mencari ilmu di pesantren, karena biasanya hanya terjadi dalam kurun waktu tertentu. Bisa satu bulan sekali, atau setiap 35 hari sekali, atau ada juga yang lebih lama, tergantung kebijakan masing-masing pesantren.

Momen sambangan menjadi hari yang ditunggu-tunggu karena di hari itu, untuk sejenak, para santri bisa melepas rindu pada keluarga. Ditambah juga mendapat perbaikan gizi karena biasanya, satu dus stok makanan sudah pasti didapat.

Hampir semua santri menyukai hari bebas yang tidak lebih dari dua belas jam itu. Namun, di sebuah pondok pesantren yang di depannya tertulis nama komplek al khodijah itu ada satu santri yang terlihat aneh di saat teman-temannya yang lain bersuka cita bertemu keluarga. Dia mengendap-endap di depan kamarnya sambil mengintip ke arah aula tempat sambangan.

"Tidak ada keluargamu yang ke sini?"

Santri itu berjingkat karena terkejut ketika di belakangnya ada salah seorang cucu pengasuh pesantren. Segera ia menunduk hormat.

"Ada, Mas." jawabnya.

"Terus, kenapa tidak ditemui?"

"Ditemui kok nanti, Mas."

Santri yang masih menjadi siswa Madrasah Aliyah itu segera ikut duduk ketika cucu kyainya duduk di lantai depan kamarnya. Ia duduk tak tenang, sambil terus mengintai arah aula tempat sambangan.

"Siapa nama kamu?"

"Irsyad."

"Ditakzir kenapa kamu, Syad?"

Irsyad, santri yang sedang gelisah itu kembali meringis lalu mengusap-isap kepalanya yang plontosnya tidak merata hasil karya pengurus keamanan.

"Kedapatan rokok di lemari saya, Mas."

Cucu Sang Kyai itu menghela napas sebelum mengungkapkan tebakannya. "Kamu takut bertemu keluarga karena habis ditakzir begini?"

Dan tepat sekali tebakannya. Irsyad kembali meringis. "Mbak saya galak banget soalnya, Mas. Lebih galak dari ibuk. Kalau sampai lihat saya habis ditakzir begini, bisa-bisa rambut saya malah dibabat habis sama dia."

Keduanya lalu tertawa berbarengan. Kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali terjadi. Santri putra ditakzir karena kedapatan merokok atau pelanggaran lain. Dan rasanya wajar saja jika keluarganya tahu lalu ikut menasehati. Tapi ya mungkin nasibnya Irsyad, nasehatnya sedikit berbeda dari yang lain.

"Mbak kamu yang suka pakai pakaian warna gelap, Syad?"

"Iya, Mas, betul."

"Yang suka pakai tas punggung?"

"Seringnya iya, Mas."

"Yang suka pakai sepatu putih?"

Irsyad terperangah kaget. "Iya, Mas. Kok kenal sama mbak saya?" Dia hampir tak percaya, salah satu gus di sini kenal dengan kakaknya. Pasalnya, dirinya bukan termasuk santri yang terkenal sehingga kecil kemungkinan keluarganya dihafal oleh salah satu gus ini.

"Saya tidak kenal, Syad."

"Lalu?"

"Itu! Arah jam lima."

Irsyad segera menoleh ke arah yang ditunjuk. Ternyata bukan kenal, melainkan gus nya itu sedang melihat langsung sosok yang sejak tadi ia hindari. Benar di dekat gedung asrama putri, berdiri seorang perempuan dengan ciri-ciri yang ditanyakan kepadanya tadi. Sedang menatap lurus padanya. Karena tidak boleh mendekat ke gedung asrama putra, alhasil kakaknya tidak menghampirinya, tapi Irsyad masih cukup bisa merasakan tatapan tajam yang siap menghunusnya itu.

Seindah Bunga Hydrangea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang