Part 43 : Es Batu Mencair

2.3K 400 56
                                    

Setelah hari-hari melelahkan melewati acara pernikahan, kini Sofia dan Atta kembali duduk berdua di sebuah tempat yang banyak penghuninya namun selalu terasa sunyi.

Tiga puluh menit yang lalu, Sofia menjadi makmum Atta dalam membaca Yasin berikut tahlil dan doanya yang khusus mereka kirim untuk sang bapak.

Selesai berdoa, Atta membersihkan daun-daun dan rumput kering yang bertebaran di sekitar kuburan sang mertua, sementara Sofia menaburkan bunga yang sengaja ia bawa tadi.

"Mas, ketika orangtua marah itu sebenarnya karena mereka juga menyesali masa lalunya." ucap wanita itu.

Atta berhenti bergerak untuk sejenak menatap istrinya. "Maksudnya?"

"Mungkin saja, karena mereka lebih berpengalaman lalu tidak ingin hal yang sama terjadi pada anak-anaknya. Makanya para orangtua sering terkesan memaksa, padahal itu karena sedang menyesali kesalahannya dan mereka ingin agar anaknya lebih baik."

Melanjutkan membersihkan daun kering, Atta tersenyum. "Maksudnya bapak?"

"Ya salah satunya bapak. Kata simbah, bapak dulu juga sekolah sama mondoknya setengah-setengah. Lebih memilih kerja ke Jakarta cari uang banyak. Padahal dapatnya juga nggak banyak karena langsung ketemu ibuk dan akhirnya nikah. Lalu aku merasakan sendiri, sepertinya aku terlalu galak pada Irsyad. Niatnya memang aku tidak ingin Irsyad hidupnya setengah-setengah seperti aku."

"Alhamdulilah, es batu telah mencair." ucap Atta.

Mendengar ledekan itu, tentu Sofia bersungut. Namun akhirnya tertawa kecil. Yang Atta katakan benar adanya. Kenapa harus butuh waktu lama untuk dirinya bisa memaknai apa yang terjadi dalam hidupnya selama ini. Benar perumpamaannya, kerasnya Sofia telah mencair.

"Lalu apa hikmahnya?" tanya Atta lagi.

Sebelum menjawab, Sofia terlebih dulu melirik sang suami. "Seperti pak kyai saja. Jika ngobrol, pasti ujungnya bertanya 'apa hikmahnya?'. Sampai hafal aku."

Atta ikut terkekeh. "Kamu lupa aku cucunya?"

"Lupa. Seingatku, Mas Atta itu cinta sejati ku,"

Sofia dengan santai mengucapkannya namun berhasil membuat Atta geli sekaligus tersipu sesaat sebelum akhirnya memilih tertawa untuk menyembunyikannya.

"Jadi apa hikmahnya?"

Sambil menjawab, Sofia menujukan pandangannya ke pusara yang bertuliskan nama sang bapak. "Hikmahnya, hatiku tidak terasa sesak seperti dulu. Karena aku selalu menyesali masa lalu, dan terlalu mengkhawatirkan masa depan. Seolah-olah apa yang terjadi dulu itu adalah akhir dari hidupku dan tak ada kesempatan lagi untuk hidup lebih baik di masa depan karena aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbakti pada bapak. Kemarin-kemarin, rasanya aku sudah tidak punya tujuan apapun selain bisa memberikan yang terbaik untuk ibu dan Irsyad. Aku menganggap hidupku telah selesai karena kesalahan, dan Irsyad juga ibuk yang masih punya kesempatan melanjutkan hidup lebih baik.

Atta terdiam. Ternyata sekencang itu Sofia mengikat batinnya sendiri.

"Karena aku merasa tidak punya masa depan lagi, alhasil aku tidak punya rasa takut pada siapapun. Aku selalu melawan orang-orang yang kiranya memang tidak benar di mataku. Aku selalu tidak suka melihat orang-orang sekitar ku berada di jalan yang salah karena tidak mau mereka menjadi sepertiku. Aku tak segan memaksa mereka untuk berubah lebih baik, tak peduli jika akhirnya akan banyak orang yang membenciku."

Tersenyum hambar, Sofia memindah pandangannya pada Atta. "Caraku salah banget ya, Mas?"

Atta tak langsung menjawab. Ia memutari kuburan sang mertua untuk bisa mendekati Sofia. "Hanya sedikit kurang tepat. Tapi aku bangga, karena sampai saat ini, banyak yang awalnya kamu paksa akhirnya Allah benar-benar menurunkan hidayah pada mereka. Salah satunya Fajar. Dulu memang dia sering banget marah-marah karena kamu paksa, tapi lihat sendiri. Sekarang dia paling rajin di rumah kakek."

Seindah Bunga Hydrangea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang