"Telepon dari bang Atta, Mbak?"
Sesaat setelah mematikan ponselnya, Sofia mengangguk untuk menjawab pertanyaan dari pemuda yang duduk di depannya.
"Kenapa dimatikan? Nggak diminta nyusul ke sini aja?"
Sofia kembali menatap jengah pemuda di depannya. Tidak tau saja jika mereka sedang terlibat sengketa sejak dua hari yang lalu. Keputusan yang salah membiarkan pemuda ini duduk bersama di meja makan yang sudah lebih dulu ia tempati.
Setelah sholat isya, Sofia merasakan hati dan pikirannya semakin kacau. Ingin mengacuhkan sang suami yang tidak tau diri, tapi rasa rindu sialan itu sangat mengganggunya. Akhirnya, daripada uring-uringan sendiri, Sofia memutuskan untuk pergi ke luar seperti kebiasaannya sejak lama ketika sedang penat.
Sebuah lapangan sepak bola yang jika malam hari berubah menjadi spot kuliner, menjadi tujuan Sofia malam ini. Awalnya ia duduk sendiri di salah satu meja penjual nasi goreng. Sengaja memilih penjual paling ujung dan sepi. Menikmati kesendirian dan kerinduan yang menyiksa, sebelum seorang pemuda secara tidak sengaja juga datang ke warung itu. Suatu kebetulan yang sangat epik.
"Nggak apa-apa. Jangan sampai dia dengar suara motor ramai begini. Dia kan julid."
Raffan tertawa keras mendengarnya. Berbeda dengan Sofia yang merasa keputusannya membiarkan Raffan duduk di sini salah, justru Raffan merasa jika hal itu adalah keputusan tepat. Dia yang punya tujuan sama dengan Sofia—melepas penat, akhirnya mendapat teman ngobrol.
"Dosa lho, Mbak, jelekin suami sendiri!"
"Dia emang julid, Fan. Dulu belum jadi apa-apa aja suka nyindir-nyindir kalau aku pergi malam. Apalagi sekarang sudah jadi suami."
Setelah mengucapkan Itu, Sofia tertegun sendiri. Merasa percaya diri jika Atta akan menegurnya karena pergi malam-malam, sendirian. Tapi memang pria itu masih peduli pada dirinya?
"Kamu sendiri, ngapain malam-malam keluyuran?" Sofia mengalihkan semua hal tentang Atta. Rasa marah bercampur rindu itu sangat-sangat menyiksa. Meskipun sedikit menyesali pertemuan dengan Raffan, nyatanya pemuda seumuran adiknya ini bisa sedikit mengalihkan perhatian. Kebetulan juga baru dengan Raffan ia kenal akrab.
"Cari angin, terus kembung akhirnya laper. Melipir ke sini."
Sofia tau pasti bahwa jawaban itu hanya basa-basi. Sebagai orang yang sering menyendiri, Sofia tau betul bagaimana gerak-geriknya. Seperti sedang melihat diri sendiri.
"Mbak!" Tiba-tiba Raffan kembali mengubah wajah menjadi serius, seperti ingin mengatakan sesuatu pada Sofia.
"Apa?"
Nampak sekali keraguan menyelimuti wajah Raffan, ingin sekali bertanya namun takut menyinggung perasaan Sofia.
"Jarang-jarang aku mau ngobrol sama orang asing lho, Fan!"
"Astaghfirullah, Mbak. Aku orang asing begitu?"
Sofia terkekeh melihat reaksi Raffan. Mirip dengan reaksi Atta waktu itu ketika Sofia juga menyebutnya orang asing.
Dengan santai Sofia meneruskan kegiatannya menyendok nasi goreng dengan level pedas gila sambil menunggu Raffan meneruskan ucapannya, jika ingin.
"Aku habis debat sama abi, Mbak."
Belum ada respon apapun yang Sofia berikan. Membiarkan Raffan bercerita dengan sendirinya.
"Pernah dengar cerita tentang Mbak Sofia dan almarhum bapaknya dulu dari bang Atta. Sepertinya mirip-mirip ceritaku, Mbak."
Sofia berhenti menyendok, memilih minum lalu menatap Raffan dengan seksama.
"Apa alasan kamu tidak nurut dengan gus Alfa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Bunga Hydrangea
General FictionCerita tentang seorang pemuda bernama Atta yang sejak lahir sudah dimanjakan dengan hidup yang berlimpah materi, berlimpah ilmu agama, berlimpah pendidikan dan kasih sayang. Sehingga ia tumbuh menjadi sosok baik hati dan bijaksana. Berhasil menjadi...