Part 3 : Rasa Penasaran Atta

2.5K 490 68
                                    

"Irsyad di mana, Buk?"

"Masih di masjid, kerja bakti bareng teman-temannya."

Merasa tidak yakin dengan jawaban Sang Ibu, Sofia membuktikan sendiri keberadaan adiknya itu. Letak masjid yang persis di depan rumahnya membuat Sofia mudah untuk melirik Irsyad.

"Masjid sepi, ke mana anak itu?"

Wulan menghela napas lalu mendekati anak perempuannya. "Mungkin ke kali, nyuci karpet. Ada apa to? Biarin adikmu itu ikut kumpul bersama anak-anak kampung. Jarang dia bisa kumpul kalau tidak liburan pondok seperti ini."

"Tapi kerja baktinya sudah selesai dari tadi." Karena Sofia juga ikut kerja bakti sejak pagi, jadi dia tau. "Kemarin dia yang minta diantar beli sepatu. Aku keburu mau ambil ayam, Buk."

Dalam hati Wulan merasa bangga. Mungkin terkadang anak sulungnya ini nampak galak, tapi soal rasa sayang, ia akui bahwa yang dimiliki Sofia begitu besar. Apalagi untuk adiknya. Hanya saja, Sofia bukan orang yang pandai mengungkapkan rasa sayang itu dengan hal-hal manis.

"Coba kamu telepon!"

Sebelum ibunya memberi ide, sudah terlebih dulu Sofia menekan nomor adiknya. Belum sampai tersambung, Irsyad sudah terlihat turun dari mobil pick up yang membawa karpet basah. Benar kata ibunya, pemuda itu terlihat baru selesai mencuci karpet di kali bersama teman-temannya.

Setelah selesai menjemur semua karpet, Irsyad pulang dengan pakaian setengah basah.

"Sekarang berangkatnya, Mbak?" tanyanya ketika melihat Sofia sudah siap pergi.

"Sepuluh menit untuk bersiap."

Mendapat ucapan seperti itu, tanpa menunggu lama, Irsyad segera kabur ke kamar mandi, bersiap dan selanjutnya ikut Sang Kakak mengambil daging ayam di tempat pemotongan. Namun sebelum mengambilnya, Sofia membawa Irsyad ke pusat perbelanjaan yang cukup besar di daerahnya.

"Sekalian kalau mau beli baju lebaran, Syad!"

"Nanti aja lah, Mbak. Puasa juga belum."

"Sekalian waktunya."

Irsyad tak menjawab lagi. Yang segera ia butuhkan hanyalah sepatu yang akan ia pakai dalam acara buka bersama teman-teman pondoknya yang masing-masing sudah pulang ke rumah. Namun karena Sang Kakak sudah memberi mandat, lebih baik segera dilaksanakan.

"Mbak nggak beli sekalian?" Irsyad iseng bertanya sambil memilih koko.

"Nanti gampang."

Pemuda itu berhenti memilih dan melempar tatapan jengah pada kakaknya. Selalu seperti itu. Mbak galaknya ini selalu mengutamakan kebutuhan ibu dan adiknya dulu, untuk dirinya sendiri selalu digampang kan. Itulah sebabnya, walaupun tiap hari ada saja yang membuatnya mendapat omelan, Irsyad tidak pernah merasa ingin jauh dari kakaknya itu.

Tidak ingin susah-susah memilih, hanya dalam waktu sebentar, Irsyad sudah mendapatkan koko, celana dan sepatu. Sejujurnya tidak terlalu antusias juga membeli baju lebaran seperti waktu kecil, tapi daripada membuat kakaknya melirik sinis, lebih baik nurut.

Seusai membayar, mereka segera meninggalkan toko itu. Berjalan bersisihan di mana tinggi Sofia hanya sebatas telinga Irsyad.

"Aku yang nyetir ya, Mbak?"

Irsyad bertanya sambil harap-harap cemas. Namun kelegaan langsung menyelimutinya ketika Sofia mengangguk lalu menyerahkan kunci mobilnya. Mobil pick up warna hitam kesayangan,  peninggalan almarhum ayah mereka dan hingga kini digunakan untuk mencari nafkah.

"Kamu nggak piket lagi ke pondok? Awas kalau liburan kebanyakan main!"

Cengiran tercetak jelas di wajah Irsyad. Kakaknya ini tahu saja jika dia sudah punya sederet rencana main dengan teman-temannya. Maklumlah, enam bulan tidak pernah kemana-mana selain di lingkungan pondok. Nggak ada salahnya sesekali menggunakan waktu liburan, asal tetap menjaga nama baik diri dan pondok. Begitu pesan kyainya.

Seindah Bunga Hydrangea Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang