"Mas, pernah mendengar sebuah riwayat bahwa pasar atau pusat perdagangan lain adalah tempat yang paling buruk?"
Karena pasar tempat aktivitas duniawi yang rentan sekali terjadinya persaingan sehingga mudah saja orang-orang berkata dusta demi dagangannya laris, omong kosong, berbuat curang bahkan sampai ada yang berbuat fitnah hanya demi harta duniawi.
Meskipun begitu, bukan berarti pasar haram didatangi karena di dalamnya masih ada orang-orang jujur dan tulus untuk mencari nafkah dan kebutuhan.
"Pernah. Kenapa? Ini nggak jadi aja?"
"Eh.. Eh!" Seorang gadis yang akrab disapa Acha menepuk pundak Atta—kakak lelakinya yang hendakmengarahkan motor menjauh dari jalan masuk pasar. "Jadi dong! Lanjut!"
Lelaki itu tertawa karena berhasil mengerjai adiknya. Keduanya turun di tempat parkir yang ada di samping pasar.
"Doanya masuk pasar gimana sih? Lupa." Acha bertanya sambil mengimbangi langkah kakaknya. "Bismillah aja cukup kali ya!" Ia terus saja ngoceh meskipun hanya ditanggapi senyuman atau lirikan oleh kakaknya.
Sesaat setelah meninggalkan parkiran dan hendak masuk ke pasar, Atta memegang lengan Acha dengan lembut agar adiknya itu berpindah ke sisi kanannya karena sisi kiri yang hendak dilewati terdapat kubangan air coklat bekas hujan.
"Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu, lahul mulku walahul hamdu, yuhyii, wayumiitu, wahuwa hayyun laa yamuutu, biyadihil khairu, wahuwa 'alaa kulli syai-in qadiir."
Sambil menghindarkan adiknya dari jalan becek, Atta mengucapkan doa itu.
"Hari ini makmum aja deh, Mas. Nanti aku hafalin lagi." sahut Acha disertai cengiran yang membuat Atta mendenguskan tawa.
Mereka berjalan pelan dengan mata yang memandang ke segala penjuru. Banyak pasang mata pedagang yang melihat mereka dengan sedikit aneh. Tidak ada larangan bagi siapapun yang ingin masuk ke pasar, namun tampilan kakak beradik yang terlihat cukup mencolok dibanding kebanyakan pengunjung pasar, tetap saja menarik perhatian beberapa orang.
"Beli apa ya, Mas?"
"Katanya mau belanja buat masak-masak?"
Acha kembali menampilkan cengiran. Sebenarnya itu hanya alasan yang dibuat-buat. Untuk masak, di kulkas rumah sudah ada bahan yang lebih dari cukup. Dia hanya ingin jalan-jalan ke pasar karena sudah lama sekali tidak menyambangi tempat jual beli ini. Di saat dirinya baru saja pulang karena liburan pondok nya sudah dimulai, ditambah melihat kakaknya yang masih nganggur di rumah, timbul lah keinginan random itu.
"Beli ikan buat papa aja gimana, Mas?"
"Paling mentok ikan cupang yang ada di sini, Cha. Selebihnya ikan gurameh dan sejenisnya yang untuk dimakan."
Wajah Acha kembali mengerut. Bepergian tanpa tujuan jelas memang tidak bagus. Matanya kembali memindai sekeliling. Berharap ada sesuatu yang menarik untuk ia beli.
"Lanjut jalan aja dulu, Cha! Nanti kalau ada yang ingin dibeli langsung beli aja daripada kita berdiri di sini terus menerus. Menghalangi jalan."
Acha mengikuti ucapan kakaknya, sejak tadi juga merasa tidak nyaman dilirik oleh beberapa penjual karena hanya senyum ketika mereka menawarkan dagangan.
Mereka terus menyusuri lorong demi lorong yang ada di pasar. Mulai dari bagian sayuran, makanan matang, buah, hingga bagian daging-dagingan. Atta selalu memposisikan adiknya itu di belakangnya, mencarikan jalan yang nyaman agar tidak berdesakan dengan pengunjung lain. Entah hari apa ini, tapi mereka berkunjung di saat suasana pasar sedang ramai.
"Mas Atta?"
Keduanya menoleh, terutama Atta yang merasa namanya dipanggil.
Seorang pemuda dengan memakai celana panjang hitam, kaos biru dan peci hitam mendekat ke arah mereka. Senyuman Atta langsung terbit ketika ingat salah seorang santri yang beberapa waktu lalu gelisah karena takut bertemu keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Bunga Hydrangea
Ficção GeralCerita tentang seorang pemuda bernama Atta yang sejak lahir sudah dimanjakan dengan hidup yang berlimpah materi, berlimpah ilmu agama, berlimpah pendidikan dan kasih sayang. Sehingga ia tumbuh menjadi sosok baik hati dan bijaksana. Berhasil menjadi...