"Tetaplah menjadi apa adanya dirimu, Sofia. Jika merasa ada yang ingin kamu perbaiki, maka perbaikilah demi menjaga martabat mu sendiri. Bukan karena aku. Karena aku sudah memilihmu di saat kamu menunjukkan apa adanya dirimu."
Perkataan Atta membuat Sofia termenung. Meski terlihat dari samping, namun Sofia yakin wajah Atta serius saat mengatakannya. Meski juga setelahnya melanjutkan makan. Kemudian dia mengajukan pertanyaan, "Kenapa Mas Atta tiba-tiba mengatakan itu?"
Sebenarnya sendok sudah di depan mulut, namun Atta meletakkannya lagi. "Karena aku merasa kamu belum percaya padaku,"
Sofia bungkam sambil meremas tangannya sendiri untuk menyalurkan rasa hati yang berdebar. Setengah jam yang lalu memang dia merasa kesal dengan Atta, namun dengan satu kalimat yang barusan dia dengar, mampu merubah rasa kesal itu menjadi sebuah kekhawatiran.
Selama menunggu Atta sampai selesai makan, Sofia memilih berdiam diri. Ingin bertanya lebih lanjut kenapa Atta bisa merasa seperti itu namun tiba-tiba dia merasakan aura berbeda. Atmosfer di sekelilingnya terasa lebih dingin.
Sama halnya dengan Sofia, Atta juga tidak berkata apapun sampai makannya selesai lalu menghampiri penjual untuk membayar semua pesanan mereka.
"Masih mau beli sesuatu di sini?" tanyanya.
Niat awal Sofia memang ingin segera pulang setelah Atta selesai makan. Namun dia merasa masih ada yang mengganjal di antara mereka.
"Jalan-jalan aja dulu, ya?" Atta memutuskan karena melihat wajah Sofia yang penuh keraguan.
Akhirnya tanpa kata persetujuan, keduanya sepakat untuk menunda kepulangan. Berjalan bersisihan dengan pelan seraya menikmati pemandangan malam di sana. Hingga menemukan satu tempat duduk yang cukup nyaman. Terletak agak pinggir, tidak terlalu ramai pengunjung namun juga tidak terlalu sepi.
Atta yang lebih dulu duduk sementara Sofia masih berdiri menatap sang suami. Rasanya, semua kekesalan yang sebelumnya menguap sempurna berganti rasa cemas. Pasalnya, ia benar-benar merasakan aura dingin ini semakin kuat.
"Duduk sini, Sofia! Apa kamu tidak lelah berdiri terus?" titah Atta sambil tersenyum.
Bahkan meski pria itu berbicara sambil tersenyum, Sofia benar-benar merasakan atmosfer semakin dingin dan mendebarkan.
Meski penuh keraguan, Sofia akhirnya duduk di samping Atta. Pura-pura melihat ke arah anak-anak yang sedang bermain trampolin meski debaran jantungnya semakin cepat.
Rasanya, Atta cukup ahli dalam membuat Sofia merasa canggung dan salah tingkah karena kesalahannya sendiri. Bermenit-menit duduk berdampingan di sana, Atta tak kunjung bersuara. Membuat Sofia semakin salah tingkah hingga akhirnya memilih bersuara lebih dulu.
"Apa maksud ucapan Mas Atta tadi?"
"Hm?" Atta menoleh ke samping kanan dan pandangan mereka langsung bertemu. "Yang mana? Aku banyak omong dari tadi."
Lagi-lagi Atta berbicara dengan santai sambil senyum. Namun sungguh, Sofia tidak suka melihat senyum seperti itu. Bukan indah dipandang, melainkan semakin membuat Sofia tenggelam dalam kecemasan.
"Aku percaya sama Mas Atta. Kenapa menganggap sebaliknya?"
Atta kembali tersenyum lalu meluruskan pandangan ke depan. Sementara Sofia menatapnya lekat dari samping. Menunggu jawaban dengan jantung berdebar. Saat ini, Atta tempatnya bergantung segala hal. Imam kehidupannya adalah Atta, bagaimana bisa ada anggapan dirinya tidak percaya pada suami sendiri.
"Karena kamu lebih percaya pada pikiran mu sendiri daripada aku. Sudah sejak awal aku katakan, bahwa aku memilih mu. Tidak peduli seperti apa masa lalumu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Bunga Hydrangea
Ficção GeralCerita tentang seorang pemuda bernama Atta yang sejak lahir sudah dimanjakan dengan hidup yang berlimpah materi, berlimpah ilmu agama, berlimpah pendidikan dan kasih sayang. Sehingga ia tumbuh menjadi sosok baik hati dan bijaksana. Berhasil menjadi...