"Sebelum ditutup, mungkin ada yang ingin menambahkan lagi?"
Baim mengangkat tangannya kemudian berkata, "Pada mau jenguk mas Atta lagi, nggak? Sudah pulang dari rumah sakit."
Anto yang duduk tak jauh darinya kemudian ikut berkomentar, "Sudah pasti?"
"Sudah. Tadi aku teleponan sama beliau nya," jawab Baim yakin.
Sementara itu, Sofia yang duduk agak jauh, tak pernah mengalihkan tatapannya dari Baim sejak pria itu membahas Atta.
Saat ini, sedang berlangsung kegiatan rutin yaitu arisan yang pesertanya pemuda-pemudi dari seluruh warga desa.
"Aku sih setuju aja kalau memang mau jenguk lagi, tapi mungkin nggak usah semua. Perwalian aja. Mas Atta itu kan penguat kita akhir-akhir ini. Dan beliau kembali harus kena musibah di kampung kita." sahut seorang lelaki yang menjabat sebagai ketua pemuda di sana.
Yang lain menyambut setuju karena merasa punya pikiran yang sama.
"Oh iya, tapi ada sesuatu yang sedikit nggak enak. Tadi mas Atta menyinggung soal ngaji kita. Kemungkinan beliau ingin pamit dan nanti akan digantikan temannya. Nggak cerita sih apa alasannya, tapi menurutku karena dua kali beliau kena musibah di sini, jadi mungkin keluarganya nggak memberi izin lagi." Baim kembali menyita perhatian para peserta arisan.
Mendengar itu, banyak dari mereka yang mendesis kecewa karena merasa sudah cocok dengan Atta.
"Ganti lagi ya? Gampang-gampang susah nyarinya!"
Di saat semua sedang kasak-kusuk membicarakan Atta, Sofia meraih botol air mineral di depannya. Meneguk habis isinya yang tinggal setengah. Dadanya bergemuruh kesal ketika mendengar kicauan Baim yang seolah-olah peduli dengan Atta. Ia masih menyimpan sendiri fakta bahwa secara tidak langsung Baim lah yang membuat Atta celaka.
"Kenapa nggak kamu aja, Im? Bapak ibumu kan orang yang cukup pintar dalam hal agama. Seharusnya kamu juga dididik tanpa kekurangan hal itu sehingga bisa menularkan pada kami,"
Dita yang sudah sangat mengenal Sofia merasa sedikit kaget. Pasalnya, nada bicara dan gesturnya menunjukkan kalau gadis itu sedang marah.
Baim tertawa dulu sebelum membalas Sofia. "Ya jangan! Nggak berani aku, Sof!"
Sofia tidak ikut tertawa seperti yang lain. Tatapannya tak pernah beralih dari Baim dan lama kelamaan membuat Baim sedikit tersadar bahwa Sofia sedang tidak biasa-biasa saja dengannya.
"Jika benar mas Atta ingin mundur, ya kita hargai saja meskipun berat. Jadikan pelajaran bagi kita semua, jangan suka memancing ataupun terpancing lagi jika ada warga sebelah atau siapapun yang berusaha mencari ribut." Sang Ketua pemuda kembali menengahi dengan bijak. "Soal ngaji, nanti kita serahkan pada Sofia. Dia pasti bisa mencarikan kita guru yang tepat. Lagi!"
"Kali ini tidak, Mas Fendi! Saya angkat tangan. Ikut saja dengan keputusan kalian semua."
Tentu ucapan Sofia itu membuat yang lain kaget. Sofia yang selama ini dikenal paling semangat mengajak yang lain tapi sekarang memilih mundur. Mereka saling memandang, mencoba menyamakan pikiran bahwa alasan Sofia itu adalah karena kejadian kemarin. Video yang menyebarkan menyebabkan orang-orang menganggap bahwa Sofia penyebab Atta celaka.
"Ya sudah, nanti kita pikirkan lagi." putus Fendi.
Akhirnya arisan itu ditutup dengan kesepakatan bahwa hari Minggu beberapa dari mereka akan menjenguk Atta ke rumahnya.
Baim masih bersikap biasa saja, tidak mengetahui bahwa Sofia tengah menyimpan emosi untuknya. Dengan santai dia mendekati Sofia yang hendak pulang.
"Sofia!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Bunga Hydrangea
Ficção GeralCerita tentang seorang pemuda bernama Atta yang sejak lahir sudah dimanjakan dengan hidup yang berlimpah materi, berlimpah ilmu agama, berlimpah pendidikan dan kasih sayang. Sehingga ia tumbuh menjadi sosok baik hati dan bijaksana. Berhasil menjadi...