Hao berjalan dengan lemas menuju sebuah bangunan yang sangat enggan dirinya datangi. Dengan pakaian rapih dirinya memasuki bangunan tersebut.
Suara tangisan terdengar di seluruh bangunan, membuat dadanya kembali sesak setelah mendengar kabar yang terlalu mengejutkan untuk dirinya.
Dadanya semakin sesak setelah berjalan lebih dekat di sebuah ruangan tempat yang dirinya tuju.
"Hao".
Panggilan Matthew seolah tak Hao dengar, dirinya menatap lurus pada foto yang terpajang dengan bunga yang mengelilinginya.
Foto dengan pemuda yang dirinya kenal, Hanbin. Hanbinnya telah meninggalkan dirinya untuk selamanya.
Hao semakin merosot dibuatnya, tadinya dirinya tak ingin mempercayai siapapun. Tapi setelah melihatnya dengan matanya sendiri dirinya semakin merasa bersalah dan tak karuan.
Hao menjadi kesusahan berjalan, Matthew dan Keita yang melihat Hao hancurpun membantu teman mereka semakin mendekat ke tempat terakhir Hanbin.
Plak
Suara tamparan keras terdengar ke seluruh ruangan. Tiffany, Ibu Hanbin menampar keras Hao.
Menatap nyalang pada Hao yang lemas tak bertenaga itu.
"Jadi kamu penyebab Hanbin meninggalkan saya Hao. Karena kamu Hanbin pergi".
Suami dari Tiffany menenangkan Tiffany yang meronta-ronta ingin menampar kembali Hao.
Dengan tangisan pilu Hao tak dapat melakukan apapun dirinya melemas, tubuhnya tidak bisa dia gerakan.
"Pergi kamu dari sini. Saya tidak mau melihat kamu lagi".
Hao menggeleng kencang, dirinya tidak ingin meninggalkan Hanbin tidak lagi dirinya tidak mau terpisah dari Hanbin.
"Ti-tidak. Maafkan saya".
"Untuk apa saya memaafkan orang yang sudah membuat anak saya pergi jauh".
Teriak kencang Tiffany semakin membuat perhatian orang-orang menuju pada mereka.
"Tenang Ma. Hanbin tidak akan senang melihat Mama seperti ini".
"Tapi Pa, Hanbin sudah tidak ada. Hanbin pergi ninggalin kita Pa".
Donghae sang suami mengelus punggung Istrinya, berharap dapat menenangkan istrinya.
"Itu pilihan Hanbin Ma. Hanbin yang menginginkan itu semua".
Hao mendongkak ke arah Donghae, Dokter yang menangani Ibunya.
"Dokter. Apa maksud Dokter?".
Donghae tersenyum ke arah Hao. "Hanbin. Anak saya mendonorkan Levernya untuk Ibu kamu. Karena waktu Hanbin juga tidak banyak lagi".
Kejutan besar kembali menghampiri Hao, bagai di sambar petir dirinya menerima fakta lainnya.
Tiffany kembali meluapkan amarahnya. "Puas kamu telah menghancurkan hidup saya dan anak saya. Sekarang keluar dari sini, saya tidak mau melihat dirimu lagi. Dan mulai besok kamu tidak perlu repot-repot datang ke Cafe lagi. Karena kamu di pecat".
Donghae membawa istrinya pergi dari sana, keadaan istrinya sedang emosional Donghae tidak mau Tiffany menghancurkan pemakaman anaknya.
"Hao". Matthew mengelus punggung Hao.
"Semua salah gue Matt. Hanbin gak ada karena gue. Hanbin pergi jauh Matt".
Matthew dan Keita menggeleng. "Gak Hao. Ini bukan salah lo, Hanbin yang milih jalannya sendiri. Lo jangan nyalahin diri lo".
Hao memukul keras dadanya, sesaknya menjalar keseluruh tubuhnya. Dirinya kesulitan bernafas akibat sesak dada dan air mata yang terus menerus turun.
"Semua salah gue".
Bugh!
Pukulan keras terdengar. "Salah gue".
Bugh!
Terus menerus memukul dadanya yang terasa sesak. Kegiatan Hao sudah di tahan Keita maupun Matthew namun tetap saja Hao memukul kencang dadanya.
Hao bangkit berdiri, tanpa sepatah kata dirinya meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Hanbin.
Hao berjalan dengan lemas entah kemana kakinya melangkah, Hao hanya mengikuti kakinya.
Berjalan dengan lamunannya, dirinya terus menyusuri malam yang makin dingin dan mencekam untuknya.
Hao menjatuhkan dirinya ke tanah, kembali menangis dengan memilukan.
Dirinya kembali memukuli dadanya, sesaknya tidak mau hilang. Hao malah semakin tak dapat bernafas dan merasa sakit yang mendalam.
Hanbin meninggalkan dirinya, Hanbin tidak akan kembali pada dirinya lagi.
Hao kembali bangkit dan berjalan penuh percaya diri, dirinya harus menemui Hanbin bagaimanapun caranya.
Dengan kesadarannya yang mulai menipis dan hampir habis dirinya berhenti di jembatan.
Diliriknya air di bawah sana, hawa dingin merasuk masuk ke dalam kulit Hao. Dengan tekat dan percaya diri, dirinya berdiri tegak merentangkan tangannya di pinggir batas jembatan.
"Hanbin".
Air mata Hao kembali lolos.
"Kenapa kamu ninggalin aku? Kata kamu kamu mau yakinin hati aku buat kamu".
Hao terkekeh. "Tapi ini apa Binnie. Kamu malah ninggalin aku gitu aja tanpa pamit".
"Kamu jahat Bin. Kamu ninggalin aku sendirian".
Tangis Hao semakin kencang. "Aku harus gimana Bin? Aku gak tau kedepannya bakal gimana setelah kamu masuk ke hidup aku".
"Aku kehilangan kamu Bin, aku gak bisa Bin".
"Lebih baik aku ikut kamu bin".
"Apa bakal lebih baik kalau aku ikut kamu Bin? Apa itu bakal buat hati aku gak hancur kayak gini Bin?".
"Kalau emang ikut kamu itu bisa buat kita sama-sama bahagia, aku bakal lakuin itu Bin".
"Ayo bawa aku Bin. Jangan tinggalin aku sendirian. Aku mau sama kamu".
Hao dengan tubuh yang lelah, pikiran yang kacau dan hati yang hancur dengan pilihan dirinya. Hao menjatuhkan dirinya ke dasar sungai yang dalam, melawan dinginnya air dan angin malam.
Dirinya ikut tenggelam bersama raga yang sudah tidak merasakan apapun. Hao ikut pergi bersama Hanbin yang telah meninggalkan dirinya.
Semoga kelak Hao dan Hanbin memiliki kisah yang lebih baik dari ini. Kisah yang menyatukan mereka, tanpa adanya rasa sakit yang menjalar keseluruh hati.
Hao bersama Hanbin telah meninggalkan rasa sakit bersama raga yang sudah tidak memiliki nadi dan pergi meninggalkan semua orang yang telah mencintai mereka sampai kapanpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popular Boy (BinHao) End
FanfictionZhang Hao, seorang pemuda yang selama ini tinggal di Panti Asuhan yang hidupnya biasa saja. Dia mendapatkan beasiswa yang sangat berarti bagi dirinya karena susah payah dia dapatkan. Yang secara tidak sengaja bertemu dengan seorang Pemuda yang mengu...