21 - Alasan di Balik Keputusan Kejam Stella

153 24 0
                                    

Gerald saat itu terlihat tengah berdiri di hadapan sebuah pintu besar berwarna hitam legam sembari menenteng sesuatu di tangannya, terlihat seperti beberapa jar atau toples tempat menyimpanan makanan, jika Keira tidak salah lihat.

Pandangan Gerald tertunduk, manik matanya menatap sebuah benda kecil berbentuk seperti ponsel, yang Keira yakini sebagai kunci pintu elektronik.

Keira memicingkan mata, mencoba memperhatikan sekaligus mengingat dalam benaknya, password yang saat itu Gerald masukkan ke sana.

Gerald tampak memendarkan pandangannya lagi, membuat Keira kembali bersembunyi, setelah ia selesai memasukkan password dari kunci pintu tersebut dan membukanya, sebelum akhirnya ia masuk ke sana.

Keira mengernyitkan kening, keheranan. "The hell? Apa dia bodoh? Maksudku ... kata Bibi Em kan, rumah ini rumah pribadi Gerald dan Ethan, kenapa dia seperti takut sekali ada seseorang yang melihatnya masuk ke sana?" racaunya, bergumam sembari memiringkan kepala sekilas.

Keira menggigit bibir bawahnya sembari menghentak-hentakan kedua kakinya, pelan. "Aku ikuti, atau tidak?"

Ia menoleh ke arah pintu yang baru saja Gerald masuki, sekilas. "Ikuti, tidak?"

Gadis cantik itu menggigiti kuku dari jemari tangannya yang lentik sembari sesekali menengadahkan pandangan, selagi benaknya memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

"Ah, terserah!" pekik Keira seraya menggelengkan kepala. Ia mengambil satu langkah maju, ke luar dari persembunyiaannya, lalu menghadapkan dirinya ke arah di mana pintu yang Gerald masuki tadi berada.

Keira mengepalkan kedua telapak tangan yang saat itu menggantung di kedua sisi tubuhnya. Gadis cantik itu menghela napas dalam-dalam sembari membusungkan dada, lalu menghembuskannya seraya perlahan. Ia mengangguk tegas. "Lebih baik mati dengan jawaban, dari pada mati penasaran!" tekadnya.

Karena rasa penasaran sudah terlanjur mengungkung dalam relung, akhirnya Keira memutuskan untuk mengambil langkah maju, mendekati daun pintu yang terbuat dari baja yang ada di hadapannya tersebut.

Keira berdiri tegap di sana, kemudian menundukan pandangan, menatap layar dari kunci elektronik yang ada. "Jika tidak salah ... kodenya ... satu, tiga, nol, enam, satu, tiga," katanya, sembari menyentuh permukaan layar dari benda pipih yang menepmpel di bingkai pintu tersebut.

Dan hasilnya ... pintu besar di hadapannya itu terbuka dengan sendirinya, membuat mulut kecil Keira menganga, merasa terkejut sekaligus senang luar biasa.

Keira merasa senang, karena ia berhasil mengingat dan membuka pintu besar tersebut, dan ia langsung merasa terkejut, karena dirinya saat itu langsung disambut dengan deretan anak tangga menurun yang sama sekali tidak memiliki pencahayaan.

Gadis itu melongo, membiarkan kedua matanya terbelalak, menatap deretan tangga yang tersusun, dengan kegelapan yang semakin jauh ... semakin terlihat hitam legam, sungguh sangat menakutkan.

Keira memutuskan untuk turun, memijakan kakinya di anak tangga pertama dan dibuat terhenyak, kala tiba-tiba ada lampu yang menyala di sepanjang deretan anak tangga tersebut.

Hal itu tentu membuat Keira semakin penasaran, karena ia masih belum bisa melihat, ke mana sebenarnya anak tangga tersebut tertuju.

Anak tangga pertama sudah ia lewati, kedua, ketiga, keempat, lalu ke lima. Saat itulah ia terhenti dan seketika menoleh ke belakang, karena mendengar suara khas dari pintu tertutup.

Di anak tangga yang ke lima, Keira mendapati pintu ruangan yang baru saja ia masuki, kembali tertutup secara otomatis, membuatnya merasa terkagum-kagum untuk kesekian kalinya.

"AH!"

Namun, kekaguman Keira tersebut tidak berlangsung lama, karena rasa kagumnya tergantikan oleh sebuah ketakutan yang seketika menjalari rongga dada.

Keira saat itu terhenyak, saat suara jeritan dari sebuah kesakitan berhasil menyapa rungunya. Keira meluruskan pandangannya seketika, menatap deretan anak tangga di bawahnya, yang sepertinya menuju sebuah ruangan bawah tanah.

Gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah, lalu kembali terhenyak kala suara jeritan yang sama, kembali mengudara, menyapa rungunya ... membuat sekujur tubuhnya meremang dan gemetar.

"SESEORANG T-TOLONG KE-KELUARKAN AKU DARI SINI! AAHHH!"

Kedua mata Keira membola, terbelalak. "B-Bi Stella?"

Tidak ingin membuang banyak waktu, setelah ia yakin, seseorang yang baru saja menjerit kesakitan, meminta pertolongan dengan suara gemetar itu adalah milik Stella, Keira bahkan menyingkirkan ketakutannya dan langsung berlari, menuruni satu persatu anak tangga.

Keira mencoba mencari tahu, dari dalam ruangan mana sebenarnya suara jerit kesakitan yang diiringi oleh isak tangis dari sang bibi tersebut, karena tenyata ... begitu ia menginjakan kedua kakinya di lantai dasar, saat itu ia melihat banyak pintu, berjejer di sana.

Debar jantung malang gadis cantik itu setiap detiknya mengalami percepatan, semakin kacau dan tidak beraturan. Keira mulai merasakan efeksi dari jantung lemahnya itu pada seluruh tubuh dan kepalanya yang berdenyut nyeri.

Namun, ia masih tidak berhenti, Ia berjalan menyusuri lorong ruangan bawah tanah tersebut sembari menenggerkan salah satu telapak tangannya di dinding, sebagai tumpuan, agar tubuhnya tidak terjerembab.

"Ugh. Kau bodoh, Keira. Seharusnya kau meminum obatmu terlebih dahulu, sebelum kau datang kemari," kerutuk Keira, kesal pada dirinya sendiri.

Pandangan gadis itu mulai mengabur, sementara rungunya terus mendengar jerit tangis yang sama, yang ia yakini merupakan suara milik Stella - sang bibi.

Hal itu tentu sama sekali tidak membantu, karena semakin keras dan jelas ia mendengar jeritan dari sang bibi tersebut, degup jantungnya akan semakin gila.

Keira meremat jumver oversize yang menutupi area dadanya kuat-kuat, sembari sesekali menundukan pandangan dan memejamkan pelupuk mata.

"Tidak sekarang, kumohon."

Melalui penglihatannya yang semakin kabur, dari sebuah pintu yang ada di ujung koridor, Keira melihat ada cahaya remang terpancar. Tanpa menghentikan langkahnya yang semakin lama semakin pelan dan lemah - terpogoh- pogoh ... Keira berusaha mati-matian untuk mencapai pintu tersebut.

"Kau masih akan tutup mulut?" Suara Gerald samar-samar terdengar, saat Keira akhirnya hampir tiba di pintu yang menjadi tujuannya.

"AAHH! HENTIKAN!"

"Katakan padaku, apa alasanmu menjadikan keponakanmu sendiri sebagai pengganti uang, untuk melunasi semua hutang-hutangmu?"

"Ap- AH! Apa kau akan melepaskanku, j-jika aku memberitahumu?"

"Tergantung. Sekarang katakan!"

Keira menyandarkan tubuh lemahnya di dinding dekat pintu yang mengeluarkan cahaya remang tadi. Dengan sisa-sisa kesadarannya, ia berusaha untuk mendengarkan apa yang sebenarnya saat itu Gerald lakukan di dalam sana.

"K-karena aku tahu, j-jika Ethan saat ini memiliki gelang milik Ke-Keira. Aku y-yakin, b-bahwa E-Ethan memang sedang me-mencari Keira. Aku h-hanya ingin membantunya."

'Gelang?' Keira membuka dan mengatupkan pelupuk matanya dengan pergerakan yang amat sangat lambat.

"Dari mana kau tahu, bahwa gelang yang Ethan miliki, adalah gelang milik Keira?"

"Gelang i-itu adalah gelang pemberian neneknya Keira, dulu. Pemberian ibu dari k-kakak iparku."

"Hanya itu?"

"AH! YA, HANYA ITU."

"Kau tahu?" Gerald terdengar terekeh sinis di dalam sana, sekilas. "Tidak ada gunanya bagi seorang manusia serakah sepertimu hidup di dunia ini. Lebih baik kau mati. Menyusul suamimu dan hidup menderita selamanya di dalam neraka."

"AH!"

Tbc ...

Through Your Veins | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang