02 - Negosiasi

494 51 0
                                    

"Melamun lagi. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu kali ini?" Sarah - sahabat terdekat Keira bertanya dengan nada sedikit sarkastik, pada Keira yang kala itu tengah duduk di salah satu bangku yang tertata di dalam sebuah perpustakaan besar, di mana tempat Sarah setiap hari bekerja.

Sudah malam hari. Selepas kembali dari kafe tempatnya bekerja, Keira memutuskan untuk mampir - menemui Sarah di perpustakaan tersebut.

Keira terkekeh kikuk seraya menundukan pandangannya sesaat setelah mendengar pertanyaan yang saat itu Sarah lontarkan. "Tidak ada."

"Jangan bohong padaku. Aku tahu kau sedang memikirkan sesuatu," desak Sarah seraya mendudukkan dirinya di kursi yang ada di hadapan Keira, saling bersebrangan, terhalang oleh sebuah meja panjang.

Keira memendarkan pandangan, menelisik keadaan sekitar, atau lebih tepatnya ... melihat area baca yang ada di dalam perpustakaan. "Apa kau sudah selesai bekerja? Aku lihat ... sudah tidak ada pengunjung di sini," tandasnya, kembali memokuskan atensinya ke arah Sarah.

"Apa kau sedang mencoba mengalihkan pembicaraan sekarang?"

Keira terkekeh kikuk lagi. "Apa terlihat terlalu jelas?"

Sarah membuang napas kasar seraya memutar bola matanya jengah. "Ini sudah pukul sepuluh, kami akan segera tutup sebentar lagi. Sekarang katakan ... apa kau sedang ada masalah?"

Keira mengangguk gamang, kemudian menundukkan pandangan sembari menggigit pelan bibir bawahnya. "Ak-" "Apa ini tentang kesehatanmu?" tandas Sarah, cepat ... bertanya pada Keira, membuat Keira kehilangan kesempatan untuk merampungkan perkataannya.

"Bisakah kau membiarkanku menyelesaikan perkataanku?" tanya Keira seraya menengadahkan pandangan dan menatap Sarah dengan tatapan tajam, menyalang.

Kali ini giliran Sarah yang dibuat terkekeh kikuk. "Baiklah. Maaf. Kau bisa melanjutkan perkataanmu, tidak perlu menatapku dengan tatapan seperti itu," rengeknya.

Keira membuang napas kasar seraya menundukkan pandangan sebentar. "Bibi dan pamanku mengundangku untuk menikmati makan malam bersama hari ini."

"Maksudmu sekarang?"

Keira mengangguk gamang seraya mengulum bibir atasnya dan memejamkan pelupuk mata sesaat.

"Hey! Jika kau diundang untuk makan malam, kenapa kau malah datang kemari?"

Keira menundukkan pandangan, menatap jemari lentiknya yang ia mainkan di tepian meja. "Apakah aku harus datang? Maksudku ... aku merasa ... pasti ada sesuatu yang sedang mereka rencanakan di balik undangan makan malam ini, bukan?" tanyanya, kembali menatap Sarah.

Sarah mengangguk setuju. "Lalu ... apa kau tidak akan datang?"

"Entahlah. Aku ragu."

Sarah membuang napas kasar lalu meraih kedua telapak tangan Keira dan menggenggamnya. "Jika kau tidak datang, kau tidak akan tahu apa sebenarnya alasan yang membuat paman dan bibimu tiba-tiba mengundangmu, bukan?"

Keira hanya diam. Ia bergeming dan hanya menatap sahabat dekatnya itu dengan tatapan lekat. Tentu tanpa menceritakan apa pun, agaknya Sarah sudah benar-benar mengerti, kenapa Keira saat ini merasa ragu, terkait undangan makan malam yang sahabatnya itu terima tersebut dari sang bibi.

Sarah tersenyum lembut. "Datang saja dulu. Siapa tahu ... ini akan menjadi awal yang bagus untuk hubunganmu dan keluargamu, hmmm?"

Keira membuang napas kasar lagi untuk kesekian kalinya seraya menundukan pandangan. "Aku tidak pernah berharap hubunganku dan keluargaku membaik, terutama semenjak ayah dan ibuku meninggal," lirihnya.

Sarah menatap Keira dengan tatapan sendu penuh arti. Bibir gadis cantik itu merenggang, mengulas senyum getir, sekilas. "Aku mengerti kau membenci bibi dan pamanmu, karena telah memanfaatkan kebaikan orangtuamu, dulu ... ketika mereka masih hidup."

Through Your Veins | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang