"Benarkah? Kau berani memarahiku?"
Langkah Keira stagnan, seketika menghentikan ayunan tungkainya kala suara maskulin yang terdengar tidak begitu asing itu berhasil mengecai ke dalam rungunya.
Emma pun melakukan hal yang sama. Wanita paruh baya pemilik tubuh yang sudah sedikit bungkuk itu ikut menghentikan langkahnya.
Keira menolehkan kepala ke arah sumber suara, mendapati saat itu Ethan tengah berdiri di ambang pintu yang letaknya bersebrangan dengan kamar yang sebelumnya ia tempati.
Pria tampan itu menyandarkan tubuhnya di sana sembari menyedekapkan kedua lengan di area dada, menunjukan postur tubuh arogan luar biasa.
Emma pun menoleh ke arah Ethan, lalu membungkukan setengah tubuhnya sekilas, sabagai tanda hormat.
"Bibi Em boleh pergi," titah Ethan begitu tegas, lugas, dingin dan mengintimidasi, jelas menuntut juga tidak menerima penolakan sama sekali.
"Baik, Tuan." Emma membungkukan sedikit tubuhnya untuk terakhir kali, sebelum pergi meninggalkan koridor, membiarkan Keira dan Ethan di sana, berdua saja.
Keira memutar bola matanya jengah sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada, meniru postur tubuh yang Ethan tunjukan. "Apa kau harus bersikap sedingin itu?"
Menatap kepergian sosok Emma dengan tatapan dingin, tatapan Ethan seketika meluruh kala dialihkan pada sosok Keira. Pria tampan itu bahkan tanpa ragu memetakan senyum manis di bingkai birainya, diiringi rona wajah yang memancarkan kesan ramah, berbanding seratus delapan puluh derajat dengan gelagat yang ditunjukan sebelumnya. "Aku tidak akan bersikap dingin padamu."
Keira berdecih pelan. "Pembual! Apa yang kau inginkan? Kenapa memintaku untuk ke luar dari kandangku?"
Ethan terkekeh gemas seraya menundukan pandangannya sesaat. "Kandang?" Ia menegakan tubuhnya, berdiri dengan benar, sebelum mengambil langkah mendekat ke arah Keira. "Apa kau menganggap kamar yang aku siapkan untukmu, sebagai kandangmu? Kau ini hewan atau manusia?"
Keira mengindikan bahu, kelewat acuh. "Entahlah. Mungkin bukan keduanya. Bagaimana jika aku adalah seorang Vampir?"
Ethan tertegun, seketika menghentikan langkah dalam posisi jarak yang sudah begitu dekat dengan Keira.
Keira menyunggingkan senyum sinis di bibirnya, kala ia melihat raut wajah Ethan yang nampak menunjukan sedikit keterkejutan saat menatap dirinya. "Kenapa kau diam? Apa kehabisan kata-kata?" tanyanya, seraya memutar tubuh, lalu mengambil langkah menjauh.
Ethan menatap sosok Keira dengan tatapan nanar, kemudian mengerjapkan pelupuk matanya secara berulang. "Kau mau pergi ke mana?"
"Bukankah kau memintaku untuk turun dan menyantap makan siang bersamamu?"
Ethan berdehem pelan. "Itu benar. Tapi kau tidak bisa pergi sendiri. Ada banyak orang di lantai bawah. Jika kau nekad pergi sendiri ke sana tanpa aku, kau akan ada dalam bahaya."
Keira menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Ethan sembari menaikan alis sebelah kirinya, menatap pria tampan yang menjadi lawan bicaranya itu, penuh terka. "Benarkah?"
"Aku sedang tidak bercanda, Keira," pungkas Ethan, dengan nada suara dingin mengintimidasinya, jelas memberi sebuah peringatan cukup serius.
Keira berdehem pelan seraya menundukan pandangan sekilas, mendadak merasa nyalinya menciut jika Ethan sudah berkata serius seperti itu. "Kalau begitu, k-kenapa kau diam di sana? Kau ingin aku kembali ke kandangku?"
Ethan membuang napas kasar seraya melemaskan bahu dan menurunkan kedua lengan, membiarkannya berayun bebas di kedua sisi tubuhnya.
Gadis di hadapannya itu sangatlah keras kepala dan bebal, hingga membuat Ethan merasa bingung, bagaimana ia harus menghadapinya.
Ethan kemudian berjalan cepat ke arah Keira, meraih telapak tangan sebelah kiri gadis cantik itu, lalu menggenggamnya erat-erat, menautkan jemari mereka.
Keira tentu sedikit terkejut. Kedua matanya membola, menatap Ethan, tidak percaya.
Namun, gadis itu tidak angkat suara. Hanya berjalan, mengikuti Ethan yang menuntun dirinya, atau lebih tepatnya, menyeret tubuhnya.
Keira memendarkan pandangan, kala dirinya dan Ethan menuruni anak tangga, mendapati banyak pekerja, seperti ajudan dan asisten rumah tangga, sudah berjejer di bawah sana, menyambut kedatangan dirinya dan Ethan.
Jumlahnya banyak. Bahkan Keira tidak sempat menghitungnya. Mereka membungkukan setengah tubuh mereka ke arah Keira dan Ethan, kala gadis cantik dan pria tampan itu berjalan melewati mereka.
Keira tentu tidak nyaman dengan perlakuan tersebut. Ia bahkan tanpa ragu balas membungkuk pada setiap orang yang ia lewati sambil tersenyum kikuk.
Sementara Ethan ... pria tampan itu hanya berjalan saja sembari memancarkan aura dingin mengintimidasinya, tidak mengkhiraukan orang-orang di sekitar yang membungkuk hormat padanya.
"Kalian bisa kembali mengerjakan pekerjaan kalian masing-masing," tandas Ethan, tentu dengan nada suara datar dan dingin.
Keira menatap punggung kekar Ethan, lalu menggeleng tak habis pikir. "Arogan!" hardiknya.
"A-ah, punggungku sakit sekali." Keira mengaduh, setengah merengek seraya memejamkan pelupuk mata sesaat dan memukul pelan punggungnya dengan telapak tangan mungilnya yang mengepal secara berulang.
"Siapa yang menyuruhmu balas membungkuk?" Ethan menoleh ke arah Keira sesaat, menatap gadis itu dengan tatapan lembut.
Keira mendelikan mata, menatap Ethan tidak suka sembari berdecih, pelan. "Itu namanya sopan santun. Seharusnya kau tidak membiarkan mereka membungkuk padamu sejak awal. Mereka tampak memiliki usia lebih tua darimu."
Ethan terkekeh pelan, melabuhkan tangannya di punggung Keira, memberi gadis cantik itu usapan lembut secada berkala, dengan harapan bisa memberi efeksi menenangkan atas rasa sakit yang dirasa. "Mereka pekerjaku. Lagipula, kau tidak begitu tahu berapa usiaku yang sebenarnya."
"Oh, ayolah. Apa kau berusia ratusan tahun? Hingga kau harus membuat mereka menunduk hormat padamu?"
Ethan melepaskan genggaman tangannya dari tangan Keira seraya menghentikan langkah.
Bersikap seperti pria sejati, Ethan menarik salah satu kursi yang tertata mengitari meja makan, untuk Keira duduki. "Duduklah dan berhenti mengoceh," katanya seraya menekan kedua bahu Keira perlahan, agar gadis cantik itu mendudukan diri.
Keira berdecih lagi, sebelum akhirnya ia mendudukan diri dan mengalihkan atensinya dari Ethan.
Betapa terkejutnya Keira, kala ia mendapati sudah ada beberapa orang yang duduk lebih dulu di sana, mengitari meja makan yang sama, dengan dirinya.
Ethan duduk di kursi yang berada tepat di samping Keira. Ia menoleh ke arah Keira sesaat, lalu tersenyum, sebelum memendarkan pandangan, menatap beberapa orang yang duduk saling berhadapan dengannya.
Ada sekitar empat orang lainnya yang duduk bersama Keira dan Ethan. Pandangan mereka sejak awal sudah tertuju ke arah Keira, semenjak Ethan membawa gadis itu memasuki area ruang makan.
"Berhenti menatap gadisku, jika kalian ingin tetap kembali ke rumah dalam keadaan hidup," tandas Ethan, sembari menatap tajam satu persatu orang yang ada di sana, memberi peringatan.
"Bersikap posesif, huh?" tanya salah satu pria yang duduk di kursi yang letaknya bersebrangan dengan Ethan.
Ethan memutar bola matanya malas. Ia menoleh lagi ke arah Keira yang kala itu tengah menatap orang-orang yang ada di sana dengan tatapan bingung pun lugu.
"Yang duduk di hadapanmu itu, Dean. Dean Smith. Di sebelahnya, Gerald, orang kepercayanku. Yang duduk di hadapanku Andrew. Andrew Wilson dan yang disebelahnya, Calvin. Calvin Lewis ," tutur Ethan sembari kembali menatap satu persatu pria tampan yang duduk berjejer di sana, mengitari meja makan.
'Tampan. Mereka sangat tampan!'
Tbc ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Through Your Veins | Completed
RomanceEthan Stewart tidak pernah mengira, jika pada malam di mana dirinya sudah membulatkan tekad akan memberi pelajaran berarti terhadap seseorang yang selalu mengingkari janji, ia dipertemukan dengan Keira Nelson yang tidak lain merupakan gadis yang mem...