15 "Dia Berbeda"

94 10 0
                                    

Darren tidak kesal saat Raka menilainya sedemikian rupa. Darren juga tidak marah, karena kalau dipikir lagi memang ucapan Raka ada benarnya, kecuali bagian Ia suka sama Adine. Darren tidak yakin bukan tidak mengakui. Darren bekerja lebih keras setelah pergi meninggalkan Raka dan Gavin, membaca semua berkas, membuka lembar demi lembar kertas. Pukul 22.00 baru ia merasa sakit dibagian punggung dan perut yang keroncongan.

"Bian, udah selesai?" Tanya Darren.

Fabian, junior yang dipercayakan untuk bersama dengannya menolehkan kepala dengan tumpukan berkas yang mengelilingi laki-laki itu.

"Dikit lagi bang" jawab Fabian.

"Udah, kita makan dulu aja" kata Darren.

Fabian hanya menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu beranjak berdiri sementara Darren memisahkan berkas yang sudah ia baca dan yang belum menjadi dua tumpukkan yang cukup tinggi.

Mereka berdua berjalan menuju salah satu tempat makan yang ada disebrang kantor, sekalian beres-beres karena sepertinya mereka sudah lelah. Pulang adalah jalan paling benar.

"Bang, gue balik duluan" pamit Fabian setelah mereka baru saja selesai makan. Anak itu tidak bisa basa-basi sedikit. Memang perutnya tidak terasa begah setelah makan dua porsis sop buntut dengan nasi? Kalau Darren makan satu porsi saja sudah kenyang karena kalau dalam kondisi pikiran tertekan akibat banyak pekerjaan, Darren cenderung tidak nafsu makan, ia makan hanya karena merasa butuh makan saja, agar tidak terjadi penolakan dari badannya. Alias jatuh sakit.

Setelah Fabian menghilang dari pandangannya, Darren menyulutkan api pada sebatang rokok dan berjalan menuju luar. Tidak bisa juga kalau ia hanya bengong disini tapi kembali ke kantor juga bukan pilihan bagus. Masih hari senin minggu ke dua bulan juli, lagian ia dan Fabian juga sudah bekerja cukup maksimal hari ini.

Akhirnya Darren berjalan ke sebrang masuk ke gedung menuju basement untuk mengambil mobilnya, waktu menunjukkan pukul 22.36. Bukannya jalan menuju apartemennya, Darren justru membelokkan mobil ke sebuah bar. Memang Gila, tubuhnya butuh tidur bukan minum. Tapi Darren terlanjur memarkirkan mobil dan turun, kakinya melangkah masuk secara yakin. Bar ini sudah jadi tempat langganannya untuk sekedar minum cocktail sambil berbincang dengan Farez -seorang bartender turunan Belanda- atau dengan Raka dan Gavin. Kali ini Darren tidak mau menghubungi mereka berdua, jatoh-jatohnya ia akan di judge sedemikian rupa. Darren malas. Tujuannya hanya ingin minum dengan tenang.

Darren duduk, Farez sudah tersenyum kearahnya saat Darren berjalan mendekat. Sudah hampir dua minggu Darren tidak kesini.

"Kemana aja lo?" Tanya Farez sambil menyiapkan sebuah minuman.

"Biasa" jawab Darren.

Farez hanya tersenyum, sebuah minuman ia sajikan pada pengunjung yang sudah duduk lebih dulu di sebelah kiri Darren.

"Daiquiri buat lo sebagai pembuka malem ini" kata Farez sambil menyodorkan segelas cocktail dihadapan Darren yang belum memesan apapun. Darren tersenyum dan mengambil gelas itu, meminumnya sedikit dan meletakan lagi diatas meja Bar.

"Malem ini kayanya sepi" kata Darren.

"Sebagian udah pada balik, lo dateng pas tempat ini mau tutup" sahut Farez.

Karena malem ini sudah hampir jam 11 malam, Pengunjung ada yang sudah pulang atau melanjutkan kegiatan lainnya di tempat lain. Darren memainkan ponselnya sambil mengecek aplikasi pesan, dilihat ada pesan dari Adine sampe lebih dari lima pesan.

"Lo sadar gak dari tadi tu cewe liatin lo terus" celetuk Farez. Darren yang tadinya akan membalas pesan Adine sampai membatalkan dan menyimpan ponselnya diatas meja. Kepalanya menoleh kearah seorang perempuan tinggi sekitar 160 cm dengan dress terbuka berwarna merah maroon menatap kearahnya sambil mengedipkan mata.

The Truth in Life (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang