Pagi yang tidak berbeda dari sebelumnya. Hanya saja untuk sesaat ia masih termangu bingung menatap ruangan yang terasa asing, seperti pagi sebelumnya. Setelah benaknya mampu mencerna apa yang telah terjadi, Sana bangun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Rumah terasa sepi dan hening saat Sana keluar dari kamar. Setelah dua hari disini, ia menyadari rumah ini seperti tidak memiliki penghuni, ditambah dengan besar dan luasnya setiap ruangan, Sana merasa berada di sebuah labirin seorang diri. Karena sebelumnya ia benar-benar tersesat di lantai satu itu.
"Pagi." Sana menyapa riang dua asisten rumah tangga yang tengah menyiapkan sarapan di dapur yang begitu luas.
"Pagi, Nyonya."Kedua asisten rumah tangga itu membungkuk hormat kepada Sana.
Sana memberengut mendengar panggilan itu. la sudah mengatakan kepada kedua asisten rumah tangga itu untuk memanggilnya Sana saja, tapi mereka bersikeras memanggilnya Nyonya. Baiklah, Sana tidak akan mengajak mereka berdebat. Karena itu hanya buang-buang waktu dan tenaga.
"Hari ini cerah sekali." Sana membuka kulkas dan mengambil dua butir telur.
Sebelumnya, kedua asisten itu akan berteriak melarang Sana menyentuh apapun yang ada di dapur selain duduk manis dan tinggal memerintahkan mereka memasak makanan yang ia inginkan, tapi Sana menegaskan bahwa ia akan memasak apa yang ingin ia masak, jika ia lelah, maka ia akan meminta bantuan kedua asisten itu. Sana berhasil memenangkan berdebatan setelah hampir satu jam berdebat dengan keduanya. Jarang sekali ia memenangkan suatu perdebatan. Sana merasa bahagia atas dirinya sendiri.
"Apa Kak Tzuyu sudah bangun?" Sana mulai memanaskan wajan di atas kompor.
"Tuan sudah berangkat pagi-pagi sekali ke kantor."
Sana mengangguk pelan.
"Apa dia tidak sarapan?"
"Tuan akan sarapan di kantor seperti biasanya." Yuju, asisten yang lebih muda, bahkan lebih muda dari Sana yang menjawab.
"Dia tidak pernah makan di rumah ya?" Sana menuangkan telur yang sudah dikocok ke dalam wajan.
"Tidak pernah."
Sana kembali mengangguk. Pria yang menjadi suaminya itu pergi pagi-pagi sekali dan pulang pada larut malam. Dua hari di rumah ini, ia hanya ditemani oleh dua asisten dapur dan dua asisten kebersihan. Setidaknya ia tidak seorang diri.
Sana menyuap omeletnya sambil memikirkan pekerjaannya. Ia menyesal kenapa harus mengambil cuti pernikahan selama seminggu penuh. Tapi jika tidak mengambil selama seminggu, teman-teman kantornya akan bertanya-tanya. Dan hal itu akan menganggunya. Ia tidak suka menceritakan hal pribadinya kepada siapapun, terlebih teman-teman perempuan di kantornya yang hampir semuanya adalah biang gosip.
Setelah sarapan, Sana menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi milik Tzuyu yang berada di lantai satu. Karena Tzuyu bilang ia boleh melakukan hal apa saja di lantai satu, maka tidak ada salahnya ia menghabiskan waktu membaca beberapa buku koleksi pria itu. Meski hampir sembilan puluh persen buku yang ada disana bertemakan bisnis, setidaknya ada sedikit buku yang tidak berhubungan dengan bisnis sama sekali. Ada beberapa novel klasik yang begitu langka di ruangan itu. Yang Sana sendiri terkejut melihatnya. Karena buku-buku itu adalah edisi terbatas dan hanya segelintir orang yang memilikinya.
Sana berharap waktu berjalan lebih cepat. Karena ia sudah tidak sabar untuk kembali bekerja.
Melewati detik demi detik yang mulai membosankan, akhirnya hari senin kembali datang.
Setelah sarapan, Sana menuju garasi dimana mobilnya berada. Mobil hasil kerja kerasnya. Meski orang tuanya kaya, tapi ia tidak pernah dimanja. Sejak kecil, ia diharuskan berusaha sendiri untuk memiliki apa yang ia inginkan. Meski terasa kejam, karena apa yang mereka lakukan kepada Sana sangat berbanding terbalik dengan apa yang mereka lakukan untuk Mina, tapi sisi positifnya, Sana tumbuh menjadi wanita mandiri, ia tidak bergantung kepada orang lain untuk meraih apa yang ia impikan.