"Apa kamu selalu pulang tengah malam seperti ini setiap hari?"
"Astaga!" Sana terkejut dengan suara Tzuyu ketika ia memasuki pintu samping.
"Kakak, jangan mengagetkanku." Ujarnya sambil mengurut dadanya dengan gerakan pelan.
"Aku tidak peduli kamu pulang jam berapa, tidak pulang juga tidak masalah. Tapi harus kamu ingat, kamu sekarang tinggal di rumahku, jadi jangan rusak reputasi keluargaku dengan kelakuan kotormu." Nada itu di ucapkan dengan dingin dan juga sinis, membuat Sana terpaku di tempatnya.
"Maksud Kakak apa?"
Tzuyu berdecak sambil bersidekap.
"Berapa uang yang kamu butuhkan?Sebutkan saja padaku, aku akan memberikannya cuma-cuma. Tapi jangan pernah membuat masalah di luar sana. Orang-orang akan mengaitkannya denganku. Dan aku tidak sudi terlibat."
"Kakak." Sana mendekat, tapi kembali melangkah mundur saat Tzuyu menatapnya begitu tajam.
"Aku baru saja pulang bekerja." Bekerja dalam benak Sana berbeda dengan 'bekerja' yang dipikirkan oleh Tzuyu.
"Kalau begitu kamu berhenti saja dari pekerjaanmu. Aku akan membayarmu berkali-kali lipat dari yang kamu dapatkan dari mereka."
Sana benar-benar tidak tidak mengerti arah pembicaraan ini. Mereka siapa yang Tzuyu maksud? Bos-nya? Park Jin-Young?
"Aku tidak bisa berhenti begitu saja. Aku menyukai pekerjaanku."
Tzuyu benar-benar harus memberikan standing applause kepada Sana. Apa begitu sukanya wanita itu dengan pekerjaan kotornya? Apa begitu sukanya wanita itu menjual diri?
"Dengar," Tzuyu mendekat tapi masih menyisakan jarak di antara mereka, karena ia tidak sudi menyentuh wanita yang ia anggap sebagai sampah.
"Kalau begitu sukanya kamu dengan pekerjaanmu, pastikan saja kamu jangan membuat masalah dan mengaitkan semua ini dengan keluargaku. Karena kalau kamu berani membuat ulah..." Tzuyu mengambil sebuah pisau dapur yang tidak jauh darinya dan meletakkan ujungnya di leher Sana yang terbelalak takut.
"Aku tidak akan pikir panjang untuk menusukkan ini ke lehermu." Ujarnya dengan nada sungguh-sungguh.
"Dan yakinlah aku akan melakukannya tanpa ragu." Kalimat terakhir itu seolah-olah bergema dalam keheningan mencekam di dalam ruangan.
Setelah itu Tzuyu berbalik dan melangkah menuju tangga. Sama sekali tidak menoleh lagi.
Sana bersandar pada dinding sambil memegangi dadanya. Sebenarnya apa salahnya hingga Tzuyu menatapnya seperti itu. Apa ia benar-benar di anggap sebagai sampah? Cara pria itu memandangnya benar-benar terasa menyakitkan.
"Nyonya, baru pulang?"
Sana terkejut dan menoleh kepada Umji yang menatapnya dengan wajah mengantuk.
"Iya saya baru pulang. Saya ke kamar dulu." Sana tersenyum dan segera melangkah menuju kamarnya sambil menahan airmata. Ia tidak berniat menangis. Hanya saja ada sebuah desakan airmata yang hendak turun di matanya. Sejak dulu ia terbiasa di remehkan oleh keluarganya, ia terbiasa disuguhkan kalimat-kalimat menyakitkan nyaris setiap hari. Hanya saja, kalimat dari Tzuyu telah menambah goresan luka di hatinya. Menyayat lebih dalam dan lebih lebar. Terkadang, ia bertanya pada dirinya sendiri. Pantaskah ia diperlakukan seperti ini? Ia menutup pintu kamar dan bersandar, menghapus airmata yang tiba-tiba saja turun. Sana menekan dadanya, mencoba meredakan rasa sakit. Tapi sakit itu tak kunjung reda dan malah semakin menjadi. Seolah kehilangan tenaga, Sana duduk di lantai dengan kepala tertunduk dalam. Berusaha keras menahan tangis.
Ia akan baik-baik saja.
Ia akan baik-baik saja.Itulah mantra yang selalu ia rapalkan di dalam hatinya. Berharap mantra itu akan memberinya kekuatan. Meski hanya sedikit, tapi mantra itu memberinya sedikit kekuatan untuk berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Ia akan baik-baik saja. Ya, ia akan baik-baik saja.