Sana duduk termenung di tepi ranjang di sebuah hotel mewah menatap kosong pada ubin lantai yang terasa dingin pada kakinya yang telanjang. Matanya beralih pada jam digital yang ada di atas nakas, sudah pukul tiga dini hari. Tapi ia tidak juga kunjung beranjak dari posisi duduknya sejak beberapa jam yang lalu.
Sana mendesah, meremas kedua tangannya yang juga terasa dingin. Lalu saat tatapannya terpaku pada sebuah cincin emas di jari manisnya, perutnya terasa melilit, dan rasa mual itu kembali datang. Sana memejamkan mata dan memeluk dirinya sendiri. Teringat lagi dengan kejadian dua hari lalu saat ia terpaksa menerima apa yang diperintahkan oleh ayahnya.
"Kalau kamu mau membalas budi, inilah saatnya."
Sana yang saat itu duduk kaku di ruang kerja ayahnya mengangkat kepala, menatap ayahnya yang berdiri di dekat jendela, menatap jauh ke depan.
"Apa kita tidak bisa menunggu Mina sembuh saja, Pa?"
"Tidak. Aku tidak ingin kerja sama dengan keluarga Chou terganggu karena hal ini."
"Tapi pasti mereka akan mengerti dengan kondisi kita. Mina kecelakaan, bukan hal yang kita sengaja, Pa." Sana masih berusaha membujuk ayahnya. Tapi ia tetap pada pendiriannya.
Akira Myoui, menatap putri bungsunya dengan tatapan tajam. Membuat nyali Sana menciut begitu saja.
"Lalu bagaimana cara kita menjelaskan pada mereka? Bagaimana cara kita memberitahu mereka bagaimana kondisi Mina sebelum kecelakaan itu?!"
"......" Sana tidak tahu jawabannya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk dalam.
"Tzuyu sangat mencintai Mina, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerimamu sebagai pengganti sementara hingga Mina sembuh."
Benarkah? Apa benar pria itu akan menerima Sana begitu saja saat yang dicintainya adalah Mina, dan bukan dirinya?. Lagipula, Sana tidak terlalu mengenal Tzuyu, ia hanya bertemu beberapa kali dengan pria itu dan tidak pernah saling bicara. Apa ayahnya pikir Tzuyu akan benar-benar menerima dirinya begitu saja Tapi lidahnya kelu, ia tidak berani membantah sedikitpun.
"Aku sudah bicara dengan mereka, dan mereka setuju. Apapun yang terjadi, kamu yang akan menikah dengan Tzuyu dua hari lagi. Hingga Mina pulih, kamu harus menggantikan posisinya."
Akira mendekati Sana yang tertunduk, mengulurkan tangan untuk meraih dagu putrinya dan menatap langsung pada matanya,
"Tapi kamu harus ingat, jangan pernah macam-macam dengan Tzuyu, kamu hanya boneka pengganti, dan tidak akan pernah menjadi istri Tzuyu yang sesungguhnya. Kamu mengerti?"
Kedua bola mata Sana yang jernih bertemu dengan sepasang mata tajam milik Akira. Tatapan itu mengancam, dan Sana tahu apa resikonya jika ia berani membangkang. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk patuh bagai sebuah boneka. Karena seperti itulah ia dianggap selama ini.
"Bagus. Teruslah patuh padaku, maka kamu akan baik-baik saja." Akira mengangguk puas sambil melepaskan dagu Sana yang dicengkeramnya. Lalu melangkah pergi meninggalkan ruang kerja itu dengan langkah lebar. Meninggalkan Sana yang terpaku diam.
Boneka pengganti. Seperti itukah dirinya selama ini?
Dan kini, Sana seorang diri di dalam sebuah kamar mewah di malam pengantinnya. Pria yang kini berstatus sebagai suaminya pergi entah kemana setelah memberinya kata-kata yang tidak kalah menyakitkannya dari kata-kata Akira.
"Kamu hanya pengganti sementara. Jadi jangan pernah berpikir aku bersungguh-sungguh menikahimu." Pria itu berdiri di tengah-tengah kamar, menatap Sana yang baru saja melangkahkan kaki memasuki kamar. Ia bahkan masih mengenakan gaun pengantinnya, tapi pria itu sudah menegaskan bagaimana posisi Sana dimatanya.
Setidaknya lebih baik begitu. Karena dengan begitu Sana tahu bagaimana posisinya dan tidak akan berharap lebih. Dengan begitu pula Sana tahu apa fungsi dirinya di samping pria itu.
"Baik." Sana menjawab dengan nada tenang.
"Aku tidak akan menganggu Kakak."
Kedua mata pria itu memicing mendengar panggilan Sana untuknya. Wajahnya terlihat tidak suka. Tapi Sana tidak peduli, pria itu lebih tua beberapa tahun di atasnya, dan lidahnya tidak mampu hanya mengucapkan nama.
"Panggil aku dengan nama saja."
Sana mencoba memberikan sebuah senyuman sambil menggeleng pelan.
"Aku akan memanggil Kakak. Terserah kalau Kakak suka atau tidak. Tapi panggilanku tidak akan berubah." Ujarnya pelan.
Pria itu menarik napas dalam-dalam dan Sana bisa melihat urat lehernya yang menonjol karena pria itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Tapi akhirnya pria itu mengalah.
"Sesukamu." Ujarnya lalu melangkah pergi begitu saja meninggalkan kamar.
Sana menatap pintu yang tertutup. Sejak dulu, ia terbiasa ditingalkan seperti ini. Dan ia sudah sangat terbiasa dengan semuanya. Maka Sana pun melangkah ke kamar mandi
untuk mengganti gaunnya. Mungkin pria itu akan kembali nanti. Tapi nyatanya tidak.Sana menghela napas, merangkak naik ke atas ranjang dan masuk ke dalam selimut, matanya menatap nyalang pada langit-langit kamar yang indah. Berdiri selama berjam-jam menghadapi ribuan tamu seharusnya membuatnya lelah. Tapi
tidak, ia tidak merasa lelah. Ia hanya merasa...hampa.♡♡♡♡♡
"Ini kamarmu." Sana menarik dua kopernya memasuki kamar yang sudah dipersiapkan untuknya. Ia menatap Tzuyu yang berdiri di ambang pintu. Menunggu pria itu bicara lagi.
"Kamu bebas menggunakan lantai satu. Tapi jangan pernah menginjakkan kaki di lantai dua. Area itu terlarang untukmu." Lalu pintu di tutup dari luar.
Sana ingin sekali tertawa, atau menangis. Atau bahkan keduanya. Entahlah, ia tidak tahu. Pria itu pergi tanpa kabar semalaman, lalu tiba-tiba pagi-pagi sekali datang dan menyuruh Sana berkemas. Saat Sana bertanya, pria itu sama sekali tidak memberikan jawaban. Sana hanya di seret keluar dari hotel menuju mobil yang sudah menunggu, lalu mobil itu membawa mereka ke sebuah rumah yang mewah. Rumah besar yang jauh lebih besar dari rumah orang tuanya. Dan kini, ia di tinggalkan di sebuah kamar setelah pria itu memberitahunya aturan yang harus ia patuhi.
Sana mengangguk kecil. Baiklah. Jika memang ia tidak boleh menginjakkan kaki di lantai dua, ia tidak masalah. Toh dirinya disini hanya seorang boneka. Dan boneka tidak berhak membantah perintah pemiliknya.
Sana mencoba tersenyum saat kedua matanya tiba-tiba terasa perih. Ia menepuk dadanya yang terasa sakit.
"Kuatlah." Bisiknya pada dirinya sendiri sambil membuka koper untuk mengeluarkan pakaiannya.
Sana meraih ponsel, lalu menghidupkan musik. Suara indah milik Adele terdengar memenuhi seisi kamar, menemani Sana menata pakaiannya di dalam lemari, lalu menyusun beberapa buku kesayangan yang ikut diboyongnya ke rumah ini. Saat menyusun buku-buku itu, matanya terpaku pada buku klasik milik Kahlil Gibran. Sana tersenyum, membawa buku itu bersamanya menuju sofa yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Sana mulai membuka halaman pertama. Rangkaian kalimat indah dari Kahlil Gibran dan suara indah milik Adele mampu membuatnya tenggelam dalam dunianya sendiri. Melupakan semua hal yang hal yang sedang terjadi, melupakan rasa sakit yang bernanah di dalam hati. Yang ia rasakan hanyalah kebahagiaan karena terlarut dalam mimpinya sendiri. Mimpi yang ia tahu tidak akan pernah menjadi nyata.
♡♡♡♡♡