6

393 49 19
                                    

"Dimana Sana?"

Umji nyaris terlonjak ketakutan ketika mendengar suara Tzuyu di belakangnya. Apa yang ia lihat tadi malam berhasil membuatnya tidak bisa tidur sama sekali.

"Nyonya s-sudah pergi b-bekerja, Tuan." Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam tidak berani menatap Tzuyu sedikitpun.

Tzuyu diam sejenak, lalu memilih pergi menuju garasi, ia tidak lagi melihat mobil Sana disana. Pria itu masuk ke dalam mobilnya dan duduk diam di dalamnya. Tzuyu tidak bisa tidur sama sekali. Setiap kali memejamkan mata, wajah Sana yang menangis membayanginya. Membuatnya gelisah tanpa ia tahu penyebabnya. Rasa bersalah tiba-tiba menyusup, membuat dada Tzuyu terasa sesak. Apakah ia sudah sangat keterlaluan kepada Sana selama ini Ia menyakiti wanita itu tanpa sebab. Hanya karena marah wanita itu menyetujui pernikahan ini, Tzuyu melampiaskan semua marah itu kepada Sana. Mungkin saja Jihyo benar, mungkin saja Sana tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintah ayahnya sama dengan ia yang mengikuti permintaan ibunya.

Apakah memang Sana yang pantas di salahkan karena semua ini? Bukan salah Sana, Mina mengalami kecelakaan dan membuatnya koma. Bukan salah Sana, ibunya memintanya meneruskan pernikahan ini dengan Sana. Bukan salah Sana pula jika ia tidak punya pilihan selain mematuhi perintah ayahnya. Tzuyu selalu bersikap layaknya ia seorang korban. Tapi apa benar ia adalah korban yang sesungguhnya?

Tzuyu menghembuskan nafas. Apa ia harus meminta maaf kepada Sana hari ini? Pria itu merasa bingung, dan memilih menjalankan kendaraannya menuju kantor. Perasaan bingung itu membuatnya tidak mampu berpikir semalaman. Rasa bersalah menggerogotinya seperti lintah, mengisap semua energinya dan tidak menyisakan apapun.

"Ada apa dengan wajahmu?" suara Jihyo yang menyebalkan membuat Tzuyu ingin menyumpah dengan kata-kata kotor.

"Sedang apa kamu di ruanganku?" Ucap Tzuyu memasuki ruang kerjanya dengan kesal.

"Menunggumu." jihyo menatap sepupunya lekat-lekat.

"Kamu tidak tidur?"

"Apa pedulimu?"

"Heh, bodoh!" Jihyo memukul kepala Tzuyu kuat-kuat.

"Meski aku benci kamu saat ini, kamu itu tetap saudaraku. Tentu saja aku mencemaskan wajah pucatmu itu."

"Aku bekerja semalaman." Dustanya sambil membuka laptop yang ada di atas meja.

"Ada perlu apa menungguku?"

"Aku ingin meminta pendapatmu tentang ini." Jihyo menyerahkan map yang berisi berkas tentang hotel mereka yang ada di Macau kepada Tzuyu

"Aku mengusulkan agar kita menambah cabang baru disana."

"Akan kupikirkan nanti." Ujar Tzuyu setelah membaca berkas itu sekilas.

"Jadi..." Jihyo duduk di depan Tzuyu.

"Apa kabar Sana?"

Mendengar nama Sana, seperti ada sebuah belati yang di lemparkan ke dadanya.

"Tanya saja sendiri padanya." Ujar Tzuyu berpura-pura terlihat santai.

"Aku tidak punya nomornya." Desah Jihyo.

"Jadi berapa nomornya? Berikan padaku." Jihyo mengeluarkan ponselnya.

Tzuyu refleks mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Tapi kemudian terdiam. Ia sendiri juga tidak punya nomor Sana.

"Aku tidak punya nomornya." Ujarnya menyimpan kembali ponselnya.

"Suami macam apa kamu yang tidak punya nomor ponsel istri sendiri?" Jihyo mendelik.

"Urus saja urusanmu sendiri."

ᴊᴜꜱᴛ ᴀ ʀᴇᴘʟᴀᴄᴇᴍᴇɴᴛ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang